Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Serial Kedaulatan Digital dan Sistem Pembayaran Nasional (Bagian 3)

24 April 2025   21:56 Diperbarui: 24 April 2025   21:56 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Bagian 3: Antara Mitra dan Pengawas -- Ketika Amerika Mengkritisi Sistem Pembayaran Kita

Bayangkan seorang tamu yang sudah lama menikmati suguhan di rumah Anda. Ia ikut memuji dapur Anda yang kini makin modern. Tapi di tengah pujian, ia tiba-tiba berkata, "Oh ya, kenapa kamu tak pakai peralatan masak buatan saya saja? Lebih bagus dan terbukti!"

Tamu itu, dalam konteks ini, adalah Amerika Serikat.Dan "peralatan masak" yang dimaksud: sistem pembayaran digital Indonesia.

Ketika Kritik Itu Muncul

Dalam serangkaian pertemuan bilateral dan forum dagang internasional, delegasi Amerika mulai mempertanyakan arah sistem pembayaran Indonesia. QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (GerbangPembayaranNasional), dua simbol kedaulatan digital Indonesia, tiba-tiba jadi sorotan.

"Kenapa QRIS dan GPN tidak memberi cukup ruang bagi sistem global seperti Visa, Mastercard, atau PayPal?" tanya mereka.

Pertanyaan itu terdengar seperti kekhawatiran biasa soal akses pasar. Tapi di balik itu, terselip aroma dominasi.

Amerika Sebagai Mitra dan Pengawas

Hubungan Indonesia dan Amerika memang unik. Di satu sisi, mereka adalah mitra strategis. Di sisi lain, AS kerap menempatkan dirinya sebagai "penjaga standar" bagi sistem global. Mulai dari perdagangan bebas, perlindungan paten, hingga sistem keuangan.

Jadi, ketika Indonesia membangun sistem domestik yang lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung pada jaringan luar negeri, alarm pun berbunyi di Washington. 

Bukan karena QRIS dan GPN tak efisien, tapi karena mereka---di mata AS---mengurangi ketergantungan Indonesia pada sistem dan korporasi global Amerika.

Apa yang Ditakuti Amerika?

Amerika bukan takut akan teknologi QR Indonesia. Mereka khawatir pada preseden---bahwa negara-negara berkembang bisa membangun sistem sendiri, yang efisien, aman, dan berdaulat. Bila Indonesia sukses, negara-negara lain akan mengikuti.

Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Digital Sovereignty (Kedaulatan Digital) menjadi isu yang tak lagi bisa disembunyikan.

Kasus Serupa: RMB Digital di China

Mari menengok China. Ketika negara itu meluncurkan e-CNY (digital RMB), Amerika langsung merespons dengan nada waspada. Mereka menyebutnya sebagai alat kontrol pemerintah, ancaman terhadap dolar, dan potensi instrumen geopolitik.

Indonesia belum sampai ke tahap itu. Tapi dengan QRIS dan GPN yang makin dalam penetrasinya, serta rencana peluncuran Digital Rupiah oleh Bank Indonesia, jalurnya mulai mirip.

QRIS dan GPN: Benteng dan Gerbang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun