Bagian 2: Ketegangan Global -- Perdagangan Bebas, Proteksionisme, dan Kekuatan Besar
Dunia yang Tak Lagi Bebas?
Bayangkan dunia sebagai pasar besar tempat semua negara berdagang. Dahulu, banyak negara percaya bahwa perdagangan bebas adalah jalan terbaik menuju kemakmuran bersama. Tak ada sekat tarif, tak ada hambatan masuk, semua produk bersaing secara adil di pasar global.
Namun, seperti dalam pasar sungguhan, pemain besar tak selalu bermain fair. Ada yang mendominasi rak terbaik, menetapkan harga, bahkan menentukan aturan main. Dan kini, satu pemain besar sedang mengubah arah pasar: Amerika Serikat.
Sejak Presiden Donald Trump kembali menjabat pada 2025, AS kembali mengibarkan bendera proteksionisme. Pada 2 April 2025, ia mengumumkan kenaikan besar-besaran Bea Masuk Impor (BMI) terhadap produk dari hampir semua mitra dagangnya---mulai dari Tiongkok, Jerman, Jepang, hingga Indonesia.
Banyak pihak menilai ini sebagai perang dagang jilid baru. Tapi bagi Trump dan penasihat ekonominya, Peter Navarro, ini adalah koreksi atas "perdagangan bebas yang terlalu bebas."
Perdagangan Bebas: Teori Indah, Praktik Tak Selalu Adil
Sejak akhir Perang Dunia II, perdagangan bebas memang menjadi landasan tatanan ekonomi global. GATT lalu WTO menjadi rumah bagi aturan main itu. Tapi, seperti halnya demokrasi yang bisa dimanipulasi, perdagangan bebas juga bisa timpang.
Navarro dalam dokumen Project 2025 menulis dengan gamblang:
"Ketidakseimbangan perdagangan yang masif tidak hanya menjadi ancaman ekonomi, tetapi juga risiko bagi keamanan nasional."
Dalam logika Navarro, ketika AS terlalu banyak mengimpor, maka industrinya melemah. Ketika industrinya melemah, maka ketahanan ekonominya pun ikut goyah. Maka, solusi satu-satunya: kurangi impor, dorong produksi dalam negeri.
Proteksionisme Baru: Neo-Merkantilisme ala Amerika
Inilah mengapa Trump menaikkan tarif. Ia menyasar sektor-sektor strategis seperti baja, otomotif, teknologi, bahkan produk pertanian dan tekstil.
Indonesia pun tak luput. Produk alas kaki, tekstil, komponen elektronik, hingga makanan olahan terkena imbas.Â
Industri yang selama ini bergantung pada ekspor ke AS harus putar otak mencari pasar baru---atau menaikkan harga untuk menutup biaya tambahan dari tarif impor.