Â
Suatu sore di bulan April 2025, suasana di Matahari Department Store Thamrin Plaza Medan terasa berbeda. Tidak ada lagi musik promosi yang ramai, dan pengunjung yang lalu lalang tampak hanya sekadar menengok, bukan berbelanja.Â
Di salah satu sudut, beberapa karyawan sibuk merapikan etalase, bukan untuk menyambut pengunjung, tetapi sebagai persiapan akhir --- karena gerai itu akan ditutup permanen.
Warga Medan pun mengenang masa-masa ketika Matahari begitu hidup, terutama menjelang hari besar keagamaan seperti Lebaran dan Natal. Sejak dibuka pada 1986, gerai ini menjadi tujuan favorit warga kota untuk membeli pakaian baru, sepatu, dan aneka kebutuhan gaya hidup. Kini, satu lagi kenangan masa lalu harus ditinggalkan.
Nasib serupa terjadi pula di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Pengumuman resmi yang terpajang di depan gerai menyatakan bahwa per 1 Mei 2025, Matahari Tanjungpinang City Center akan menutup operasionalnya. Ucapan terima kasih tertulis rapi di bawahnya, terasa lirih---seolah menyadari bahwa kepercayaan pelanggan selama ini tak cukup kuat menahan arus perubahan zaman.
Gelombang Penutupan dan Angka-angka Realita
Fenomena penutupan gerai ini bukan kasus tunggal. Sepanjang 2024, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) telah menutup 13 gerai yang dinilai berkinerja buruk. "Penutupan ini memungkinkan realokasi sumber daya ke lokasi-lokasi yang berkinerja lebih tinggi dan optimalisasi operasi," tulis manajemen dalam laporan keuangannya, dikutip 9 April 2025.
Laporan keuangan tahun 2024 menunjukkan bahwa penjualan barang dagangan tercatat sebesar Rp12,30 triliun, turun tipis 1,95% secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp12,55 triliun di 2023. Semua lini penjualan mengalami penurunan, seperti penjualan eceran-gerai yang turun 1,85% menjadi Rp3,66 triliun, dan penjualan konsinyasi yang menurun 2% menjadi Rp8,64 triliun. Bahkan, pendapatan dari program loyalitas Matahari Rewards tercatat nihil---Rp0,0.
Namun, tak semua kabar bernuansa suram. Penurunan pendapatan itu diiringi dengan efisiensi besar-besaran: beban penjualan konsinyasi dan beban pokok pendapatan berhasil ditekan menjadi Rp5,90 triliun dan Rp2,13 triliun. Beban usaha juga berkurang menjadi Rp2,97 triliun, serta beban lain-lain turun ke Rp262,9 miliar. Hasilnya, laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk justru naik 22,54% yoy menjadi Rp827,7 miliar.
Transformasi Digital dan Perjuangan Bangkit