Di tengah derasnya arus jual beli saham di Bursa Efek Indonesia, ada satu saham yang terus menarik perhatian---bukan karena sedang bersinar, melainkan karena tetap bertahan di tengah tekanan.Â
Saham itu adalah PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR), emiten raksasa konsumer yang produknya hadir hampir di setiap rumah tangga Indonesia.
Beberapa pekan terakhir, saham UNVR mulai menunjukkan geliat. Harga sahamnya menanjak 15,15% dalam sepekan hingga 15 April 2025, ditutup di angka Rp1.330 per lembar.Â
Tapi yang menarik bukan hanya karena harganya naik, melainkan karena ada sebagian investor besar yang justru mengakumulasi saham ini, di saat sebagian yang lain memilih menjual. Apa yang sebenarnya terjadi?
Antara Jual dan Beli: Aksi yang Berlawanan
Tak bisa dipungkiri, beberapa waktu terakhir UNVR banyak dilepas oleh investor, terutama pasca-pengumuman kinerja keuangan yang mengecewakan.Â
Penjualan bersih UNVR tahun 2024 tercatat turun 10,1% menjadi Rp35,1 triliun, dan laba bersih anjlok 28,15% menjadi Rp3,4 triliun. Margin keuntungan pun ikut tergerus.
Lebih parahnya lagi, UNVR juga didepak dari indeks MSCI, membuat sebagian investor asing melepas kepemilikannya. Alhasil, tekanan jual makin menjadi.
Namun, di tengah kelesuan itu, beberapa pemodal kakap justru mengisi portofolio mereka dengan saham UNVR. Sebuah sinyal menarik yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku pasar kehilangan kepercayaan pada emiten legendaris ini.
Mengapa Mereka Masih Belanja?
Mari kita tengok beberapa alasannya.
Pertama, Unilever adalah pemain utama di industri fast-moving consumer goods (FMCG). Produk seperti Lifebuoy, Sunsilk, Royco, dan Pepsodent sudah mendarah daging dalam keseharian masyarakat. Brand equity-nya sangat kuat.
Kedua, harga sahamnya yang sempat tertekan menjadikan valuasinya relatif lebih murah dibanding tahun-tahun sebelumnya, meski jika dibandingkan kompetitor, Price to Earning Ratio (PER)-nya masih tinggi di angka 15,2x dan Price to Book Value (PBV) mencapai 23,8x. Bandingkan dengan emiten sejenis seperti ICBP, JPFA, atau SIDO yang rata-rata PER-nya di bawah 10x dan PBV-nya sekitar 1,3x. Jadi secara historis UNVR lebih mahal, tapi kini sudah "diskon" besar dibanding puncak kejayaannya.