Donald Trump telah kembali menduduki Gedung Putih untuk periode kedua, dan dunia dagang global kembali berguncang. Retorika "America First" yang dulu sempat memanas kini membara lagi.Â
Dan seperti deja vu yang tak ingin disambut, kebijakan tarif kembali menjadi senjata andalan Trump melawan China.
Awalnya, strategi ini tampak seperti rencana brilian. Seorang ekonom jebolan Harvard, Stephen Miran, merancang kerangka kebijakan perdagangan Trump dengan tiga tujuan utama: mengumpulkan pendapatan untuk negara lewat tarif impor, menjaga harga tetap stabil bagi rakyat Amerika, dan memaksa negara-negara lain, terutama China, bermain lebih adil dalam perdagangan global.
Namun, semuanya berubah ketika Trump memutuskan untuk berjalan sendiri, menabrak nasihat para penasihat ekonominya.Â
Dalam sebuah keputusan yang dianggap impulsif oleh banyak kalangan, Trump menaikkan tarif impor dari China secara drastis. Tidak tanggung-tanggung, pada April 2025, ia mengumumkan tarif baru hingga 145% untuk produk-produk tertentu dari China, termasuk elektronik, suku cadang kendaraan, dan baja. ([sumber: NY Post, The Guardian, The Australian])
Trump berdalih langkah ini perlu untuk menghukum China atas praktik perdagangan yang "tidak adil". Namun para ekonom melihatnya berbeda.Â
Banyak yang menilai ini sebagai tindakan egois, penuh kesombongan, dan mengabaikan peringatan dari ahli yang lebih kompeten.
Dampak Nyata Bagi Rakyat AS
Akibat kenaikan tarif ini, rakyat Amerika kini harus membayar mahal. Menurut perkiraan dari Institute for Economic Policy, setiap keluarga AS rata-rata menanggung beban tambahan sebesar $3.800 per tahun, akibat naiknya harga barang konsumsi, terutama elektronik, produk rumah tangga, dan kendaraan.
Harga iPhone, misalnya, diperkirakan melonjak hingga 79%, sementara laptop dan perangkat rumah tangga seperti mesin cuci dan lemari es mengalami kenaikan rata-rata 40--60%.Â
Tak hanya itu, inflasi pun semakin tak terkendali. Data terbaru dari Bureau of Labor Statistics menunjukkan inflasi naik 2,8% lebih tinggi dari proyeksi awal pada kuartal kedua 2025.
Bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), terutama sektor manufaktur dan retail, tarif ini menjadi pukulan telak. Banyak dari mereka mengandalkan bahan baku impor dari China yang kini menjadi sangat mahal. Beberapa UKM bahkan terpaksa gulung tikar.
China Tak Tinggal Diam