Lebaran selalu menjadi momen istimewa bagi perantau untuk kembali ke kampung halaman. Dalam budaya Minangkabau, pulang basamo---mudik bersama dengan rombongan keluarga atau komunitas dari rantau---telah menjadi tradisi yang melekat.Â
Namun, ada satu tradisi lain yang kini semakin jarang terdengar, yakni "Bakumpua Basamo Bako", pertemuan keluarga besar dari pihak ayah dalam suasana kebersamaan yang hangat dan penuh makna.
Mengenang Tradisi "Bakumpua Basamo Bako"
Ketika saya masih kecil, saya sempat merasakan tradisi ini dalam suasana hari raya Idul Fitri di rumah nenek dari pihak ayah di Batusangkar. Keluarga besar berkumpul di rumah gadang, saling bersilaturahmi, dan menikmati hidangan khas Minang yang menggugah selera---asam padeh daging, randang baluik, gulai anyang, dan itiak lado mudo. Kegembiraan anak-anak bermain bersama, tawa orang dewasa yang mengenang masa lalu, serta kehangatan keluarga dari berbagai generasi menjadikan momen ini sangat berharga.
Namun, setelah nenek saya dari pihak ayah meninggal dunia, tradisi ini perlahan-lahan mulai pudar. Kemudian, ketika ayah dan ibu saya masih ada, tradisi ini berpindah ke Pekanbaru, tempat sebagian besar keluarga ibu saya menetap. Tetapi setelah mereka berdua berpulang---ibu saya pada tahun 2008 dan ayah pada 2012---acara "Bakumpua Basamo Bako" pun tak lagi dilaksanakan.
Pada tahun 2019, sebelum pandemi melanda, saya dan beberapa sepupu yang memiliki pasangan keturunan Minangkabau sempat mengadakan "Bakumpua Basamo Bako" bersama anak-anak kami secara kecil-kecilan di Sumagek, Limokaum, Batusangkar.Â
Meskipun sederhana, pertemuan ini menjadi momen berharga untuk kembali menyambung silaturahmi dengan keluarga dari pihak ayah. Kami berbagi cerita, menikmati hidangan tradisional, dan mengenang kembali kenangan masa kecil bersama. Sayangnya, pandemi yang datang setahun kemudian membuat tradisi ini kembali terhenti.
Foto Kenangan: Bukti Eratnya Tradisi "Bakumpua Basamo Bako"
Salah satu bukti nyata betapa eratnya tradisi ini di masa lalu adalah foto keluarga saya yang diambil pada 13 Juli 1957 di Tapih Sungai Koto Gadih, Limokaum, Batusangkar. Foto ini menunjukkan betapa besarnya keluarga yang berkumpul dalam satu momen spesial. Mereka berkumpul di depan rumah gadang, mengenakan pakaian khas, dengan suasana yang penuh kehangatan dan kebersamaan.
Dalam foto tersebut, tampak ketiga adik ibu saya yang saat itu masih belum menikah, serta abang saya yang tertua yang saat itu berusia 6 tahun dan telah berpulang pada tahun 2018. Ibu saya sendiri tidak ada dalam foto ini karena saat itu tengah hamil kakak saya yang keempat serta mengasuh dua abang saya yang lain yang masih kecil dan bayi. Saya sendiri belum lahir saat itu, karena saya adalah anak kedelapan dari sepuluh bersaudara.