Pada 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kejatuhan tajam, anjlok 6,51 persen hingga memicu mekanisme trading halt oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kejatuhan ini tidak hanya mencatat rekor sebagai salah satu yang terdalam dalam sejarah Indonesia, tetapi juga membangkitkan kembali memori krisis moneter 1998 dan pandemi Covid-19 pada 2020.
Namun, pertanyaannya, seberapa parah kondisi saat ini dibandingkan dengan dua kejadian besar tersebut? Apakah ini ancaman serius bagi ekonomi nasional, atau justru hanya turbulensi sementara yang tidak sebanding dengan krisis sebelumnya?
Krisis Moneter 1998: Kolapsnya Sistem Finansial Nasional
Krisis moneter 1998 menjadi salah satu kejatuhan ekonomi terbesar dalam sejarah Indonesia. Saat itu, nilai tukar rupiah anjlok lebih dari 600%, dari sekitar Rp2.400 per USD menjadi lebih dari Rp16.000 per USD hanya dalam beberapa bulan. Bank-bank besar runtuh, utang luar negeri membengkak, dan IHSG jatuh lebih dari 50% dalam waktu singkat.
Pemerintah terpaksa meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) dan melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap sektor keuangan. Kejatuhan IHSG kala itu bukan sekadar penurunan teknikal, tetapi cerminan dari kehancuran sistem ekonomi nasional.
Pandemi Covid-19 2020: Sentimen Global yang Menekan Pasar
Saat pandemi Covid-19 melanda dunia pada awal 2020, IHSG mengalami penurunan lebih dari 37% dalam beberapa bulan, dengan titik terendah di sekitar 3.900 pada Maret 2020. Mekanisme trading halt diterapkan berkali-kali untuk meredam kepanikan pasar.
Perbedaan utama dengan krisis 1998 adalah bahwa penyebabnya bukan berasal dari kegagalan sistem keuangan nasional, tetapi lebih kepada shock global akibat pandemi yang menghambat aktivitas ekonomi. Respon pemerintah saat itu cukup cepat dengan berbagai paket stimulus ekonomi dan kebijakan fiskal yang mendukung pemulihan pasar.
Trading Halt 18 Maret 2025: Kepanikan atau Masalah Fundamental?
Jika dibandingkan dengan dua kejadian di atas, kejatuhan IHSG pada 18 Maret 2025 belum dapat dikategorikan sebagai krisis besar, meskipun cukup signifikan. Penurunan 6,51% dalam sehari memang tergolong tajam, tetapi tidak sebesar dampak krisis 1998 atau pandemi 2020.
Namun demikian, yang menarik perhatian adalah respon pemerintah yang terkesan datar dan minim tindakan konkret. Presiden Prabowo Subianto bahkan tidak memberikan arahan khusus, sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa fundamental ekonomi nasional tetap kuat dan tidak perlu ada langkah darurat.
Apakah ini tanda bahwa pemerintah percaya bahwa pasar akan stabil dengan sendirinya? Ataukah ini justru menunjukkan minimnya kesiapan dalam menghadapi gejolak finansial?
Dampak Terhadap Sektor dan Rupiah
Selain IHSG, nilai tukar rupiah juga ikut terpuruk, melemah 87 poin atau 0,53% menjadi Rp16.515 per USD. Beberapa sektor yang paling terdampak adalah:
- Sektor Teknologi: Saham DCI Indonesia (DCII) anjlok 20%, menandakan kepanikan di sektor teknologi yang sebelumnya mengalami reli panjang.
- Sektor Perbankan:Â Saham bank-bank besar ikut melemah karena investor asing menarik dana dari pasar modal Indonesia.
- Sektor Konsumsi dan Retail: Ketidakpastian ekonomi membuat daya beli masyarakat berpotensi menurun.
Pada hari ini, Rabu, 19 Maret 2025, IHSG kembali dibuka melemah 0,49% atau 30,59 poin ke posisi 6.192,80. Penurunan ini melanjutkan tren negatif dari hari sebelumnya, di mana IHSG ditutup turun 3,84% ke level 6.223,39 pada Selasa, 18 Maret 2025.