Starbucks sedang menghadapi masa transisi yang tidak mudah. Di bawah kepemimpinan CEO Brian Niccol, jaringan kopi global ini mengambil langkah besar untuk mengembalikan kejayaannya yang sempat meredup.
Salah satu keputusan yang paling mencolok adalah pengurangan 1.100 posisi perusahaan sebagai bagian dari upaya restrukturisasi. (Sumber: Reuters)Â
Langkah ini dilakukan untuk menyederhanakan struktur organisasi, menghilangkan duplikasi, dan menciptakan tim yang lebih kecil namun lebih gesit.
Niccol, yang dikenal sukses membalikkan keadaan di Chipotle Mexican Grill, menerapkan strategi serupa di Starbucks dengan visi "Kembali ke Starbucks." Ia berfokus pada efisiensi operasional dan peningkatan pengalaman pelanggan.
Sejak mengambil alih posisi CEO enam bulan lalu, langkah-langkah yang diambilnya mulai menunjukkan hasil. Saham Starbucks yang sempat anjlok 40% dari puncaknya pada 2021 kini telah pulih lebih dari 22%.
Keputusan pengurangan posisi ini, meski signifikan, tidak memengaruhi tim di dalam toko maupun investasi perusahaan dalam memperpanjang jam buka gerai. Namun, upaya Niccol tak berhenti di sana. Starbucks juga menghapus sejumlah minuman yang kurang diminati pelanggan, seperti beberapa varian frappuccino dan cokelat panas putih.
Langkah ini diambil demi menyederhanakan menu dan meningkatkan efisiensi layanan. Dengan gerakan ini, Starbucks berharap dapat mempercepat waktu penyajian dan mengurangi kompleksitas operasional di tingkat gerai.
Tantangan Besar yang Masih MengadangÂ
Meski strategi ini terlihat menjanjikan, tantangan besar masih menghadang. Starbucks selama ini kerap terseret dalam kontroversi, mulai dari dukungannya yang terbuka terhadap gerakan LGBT hingga dugaan keterkaitannya dengan konflik Israel-Palestina.
Boikot yang muncul akibat posisi politik perusahaan berdampak pada penurunan penjualan dan aksi vandalisme di beberapa gerai. Di sisi lain, perselisihan dengan serikat pekerja juga mencoreng reputasi perusahaan, memunculkan anggapan bahwa Starbucks kurang mendukung hak-hak karyawan.
Sebelum Niccol, Howard Schultz yang menjabat sebagai CEO sebelumnya, juga sering mengundang kontroversi yang berdampak pada citra dan penjualan perusahaan.
Pernyataannya yang terang-terangan mendukung gerakan tertentu dan menantang pelanggan yang berseberangan pandangan untuk tidak minum kopi di Starbucks, menjadi salah satu pemicu boikot besar-besaran. Selain itu, kebijakan perusahaan di masa Schultz dianggap kurang responsif terhadap aspirasi karyawan dan isu-isu sosial yang sensitif.
Langkah Strategis untuk Masa DepanÂ