Di setiap rumah, makanan bukan sekadar sajian di meja, tetapi juga menyimpan cerita, kenangan, dan warisan keluarga. Begitu pula dengan Lontong Cap Go Meh di keluarga kami.
Hidangan ini bukan hanya bagian dari perayaan Cap Go Meh, tetapi juga menjadi menu spesial dalam momen-momen istimewa seperti ulang tahun atau perayaan keluarga lainnya.
Memasaknya bersama istri adalah cara kami menjaga dan meneruskan warisan kuliner dari ibu saya, menghadirkan rasa yang autentik dan penuh makna.
Sejarah dan Makna Lontong Cap Go Meh
Lontong Cap Go Meh merupakan hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Melayu yang berkembang di Nusantara. Awalnya, masyarakat Tionghoa di Indonesia merayakan Cap Go Meh dengan sajian berbasis mie atau kue keranjang, tetapi seiring waktu, mereka mengadaptasi lontong sebagai makanan utama, yang lebih akrab dengan tradisi kuliner Jawa dan Melayu.
Lebih dari sekadar makanan, setiap elemen dalam hidangan ini memiliki makna simbolis. Lontong melambangkan panjang umur dan keberkahan, opor ayam dengan warna kuning keemasan mencerminkan rezeki dan kemakmuran, sementara telur pindang (cha ye dan) menjadi simbol kesuburan dan keberuntungan. Kombinasi ini menciptakan harmoni rasa yang tidak hanya lezat tetapi juga sarat filosofi.
Lontong Cap Go Meh di Era Modern
Dulu, hidangan ini hanya ditemukan saat perayaan Cap Go Meh, tetapi kini banyak restoran Peranakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan menyajikannya sebagai menu harian. Bahkan, restoran asal Malaysia dan Singapura pun turut memperkenalkan Lontong Cap Go Meh bersama hidangan khas lainnya seperti Laksa Nonya.
Di beberapa restoran, opor ayam tradisional digantikan dengan kari ayam yang lebih kaya rempah, atau lontongnya dibuat lebih lembut seperti ketupat. Inovasi ini membuktikan bahwa kuliner selalu berkembang, tetapi tetap mempertahankan akar budayanya.
Namun demikian, bagi kami, tidak ada yang bisa menandingi cita rasa Lontong Cap Go Meh buatan sendiri, yang dimasak dengan penuh cinta dan diwariskan dari generasi ke generasi.