Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Apa yang Dicari Talent Unggulan Gen Z?

19 Januari 2023   14:45 Diperbarui: 19 Januari 2023   14:51 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Para talent unggulan banyak yang pergi (Photo by Merza Gamal)

Jika kita lihat, lulusan perguruan tinggi setiap hari bertambah banyak, yang artinya tenaga kerja berpendidikan juga bertambah banyak. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, di banyak perusahaan, masih banyak lowongan yang belum terisi oleh talent yang tepat dan tentu saja unggulan agar bisa mendongkrak performance perusahaan.

Belum lagi mencari talent yang tepat dan  unggul, talent yang sudah ada pun memilih untuk pergi dari perusahaan.  Problem pengurangan talent sepertinya belum akan melambat dalam waktu dekat. Para lulusan perguruan tinggi saat pandemi Covid-19 menguncang dunia adalah Gen Z yang lahir di tahun 1997 hingga 2010.

Gen Z adalah anak-anak yang sudah menerima ponsel pertama mereka pada usia 10,3 tahun. Banyak dari mereka tumbuh dengan bermain bersama ponsel atau tablet orang tua mereka. Gen Z telah tumbuh di dunia yang sangat terhubung dan smartphone adalah metode komunikasi pilihan mereka. Rata-rata, Gen Z menghabiskan 3 jam sehari di perangkat seluler mereka.

Gen  Z merupakan generasi yang telah melihat perjuangan Milennial yang terkesan lebih foya-foya, terutama Gen Y yang lahir sebelum tahun 1990. Oleh karena itu, Gen Z  mengadopsi pendekatan yang lebih konservatif secara fiskal. Gen Z (dan juga sebagian Young Millennial) ingin menghindari utang dan menghargai akun atau layanan yang membantu upaya berhutang. Kartu debit menempati urutan teratas daftar prioritas mereka, diikuti oleh mobile banking. Berbeda dengan kaum millennial senior yang lahir antara 1980-1990 yang menyukai kartu kredit dan fasilitas paylater.

Image: Gen Z lebih menyukai kartu debit dan mobile banking (Grafis by Merza Gamal)
Image: Gen Z lebih menyukai kartu debit dan mobile banking (Grafis by Merza Gamal)

Selain itu, Gen Z merupakan generasi yang besar dengan smartphone dan media sosial, serta tidak pernah mengenal negara yang tidak berperang, dan melihat perjuangan keuangan orang tuanya (Gen X). Kemudian ketika kuliah ikut merasakan kesulitan ekonomi dan resesi yang dialami orangtuanya, serta dihadapi dengan cobaan masa pandemi yang panjang.

Jadi, sebenarnya Gen Z bukanlah generasi yang manja seperti yang dianggap oleh sebagian orang. Berbeda dengan generasi sebelumnya, yakni Gen Y yang sempat merasakan  manisnya perekonomian global dan dimanja secara materi oleh orangtuanya yang Baby Boomers. Namun, banyak orang salah kaprah mencap kaum millennial sebagai generasi yang manja dan menyeret Gen Z sebagai bagian dari kemanjaan Gen Y.

Oleh karena banyak cobaan hidup akibat masa-masa VUCA di saat Gen Z remaja dan bertumbuh dewasa, maka mereka lebih struggle dan selalu mencari pengembangan diri yang lebih baik. Sehingga, kesannya mereka mudah untuk pergi meninggalkan pekerjaan yang sudah mereka dapatkan.

Menurut kajian yang dilakukan oleh McKinsey, pengurangan dan ketertarikan talent unggulan akan terus menjadi masalah bagi organisasi yang tidak sejalan dengan alasan sebenarnya mengapa insan perusahaan mereka keluar. Apa yang harus dilakukan perusahaan yang ingin mendapatkan talent ungulan dari Gen Z?

Perusahaan sukses adalah organisasi yang memiliki sistem pengembangan karier dan, fleksibilitas sebagai faktor penarik utama. Fleksibilitas dapat berarti banyak hal dan tidak terbatas hanya pada sistem pekerjaan hybrid. Gen Z saat memulai bekerja sudah langsung dihadapkan dengan bekerja dari rumah (WFH) dan bekerja secara hybrid. Mereka tidak lagi menghabiskan 40 jam penuh seminggu di bilik-bilik kerja di ruangan kantor yang individual dan mengembangkan hubungan di ruang istirahat atau saat happy hour. Gen Z di awal kerjanya tidak terkungkung oleh sekat-sekat meja kerja di kantor, tetapi bisa bekerja di mana saja sambil happy hour. Pergeseran dari kedekatan konstan tersebut merupakan salah satu alasan mengapa menumbuhkan budaya inklusif dan suportif semakin penting bagi kelompok pekerja Gen Z saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun