Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-16)

8 Desember 2022   07:12 Diperbarui: 8 Desember 2022   07:29 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-16) - Garfis by Merza Gamal

Jumat malam, Vera pun menyusul dari Heidelberg ke Stuttgart untuk berakhir pekan dan berkumpul bersama keluarga. Dan, kehadiran Vera pun melengkapi kemesraan keluarga tersebut.

Sabtu pagi, Aku dan Morgan kembali bersepeda di Lembah Neckar sebagaimana hari Minggu lalu. Pulang dari bersepedaan, Gustav langsung bilang padaku, "Morgan sudah seminggu tidak telepon Ibu. Mumpung sekarang masih sore di Jakarta, telepon dulu Ibu sebelum Morgan ke kamar. Ibumu pasti sudah gelisah, anaknya tidak menelepon seminggu."

Aku tercekat dan tambah kagum dengan Gustav. Dia benar-benar seorang yang penuh perhatian dan logikanya sangat terjaga. Meskipun dia "memaksaku" untuk mengakui dia sebagai saudara kembarnya, namun dia paham bahwa aku mempunyai seorang Ibu yang membesarkanku yang harus tetap disayangi dan dihormati.

Ya, aku pasti masih mencintai dan akan tetap menyayangi Ibuku, andai pun suatu saat ternyata bahwa aku benar-benar bukan anak kandungnya. Aku tidak meneleponnya seminggu ini hanya karena aku tidak tahan jika mendengarkan lagi Ibu menangis dan berkata, "Morgan anak Ibu, Ibu tidak mau kehilangan Morgan, Hanya Morgan milik Ibu di dunia ini..." Aku benar-benar tidak ingin mendengar Ibu menangis lagi. Aku pun tidak akan mencari tahu tentang Ayah dan diriku sebenarnya sampai bertemu Ibu di Jakarta dan dalam suasana yang tepat.

Aku menelepon Ibu di Jakarta setelah diingatkan Gustav. Aku tidak banyak bercerita tentang keberadaanku di rumah keluarga Gustav. Aku hanya menyampaikan aku baik-baik saja dan disibukkan oleh kegiatan magang di Stuttgart, dan malam baru berada di rumah keluarga Gustav, seolah-olah aku hanya istirahat di rumah. Aku tidak bercerita bahwa hubungan aku dengan Papa  dan Mama semakin erat setiap malamnya.

Hari Minggu pagi, aku dan Gustav diajak Papa main golf. Sebelum kami berangkat bertemu dengan Alfred yang menjemput Mama untuk ke Gereja. Gustav terlihat berusaha menghindar untuk bertemu dengan Alfred. Gustav seperti mengambil sesuatu yang tertinggal di atas. Aku pun menyambut dan menyalami Alfred.

"Tidak ikut ke Gereja menemani Mama?" tanya Alfred kepadaku. "Mumpung di sini, temanilah Mama, pasti dia akan bahagia jika anaknya yang selama ini hilang, menemaninya menemui juru selamat," ujar Alfred melanjutkan ajakannya.

Aku hanya tersenyum membalas ajakan Alfred. Kemudian Alfred membimbing Mama keluar dan naik ke mobil untuk berangkat ke gereja. Aku yakin, Alfred pasti tidak tahu jika aku adalah seorang Muslim. Jika dia tahu, pasti Alfred tidak akan mengajakku menemani Mama beribadah Minggu.

Papa sudah siap di dalam mobil untuk berangkat ke lapangan golf. Aku masuk ke dalam rumah dengan maksud memanggil Gustav yang sudah ditunggu Papa di mobil. Sebelum aku naik tangga, Gustav ternyata sudah turun. "Ah, aku lagi malas mendengarkan kotbah Alfred yang itu-itu saja. Aku sudah menyatakan padanya aku tidak percaya dengan doktrin agama. Tapi dia seakan tiada jera untuk berkotbah kepadaku."

Aku diam, tidak mengomentari omelan Gustav. Seperti biasa, aku tidak bisa bicara banyak jika itu sudah menyangkut masalah keyakinan seseorang. Bagiku perbedaan itu untuk dinikmati bukan untuk dipertentangkan.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun