Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku

28 Oktober 2022   07:23 Diperbarui: 28 Oktober 2022   10:14 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image:  Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Sebuah Cerita dalam Rangka Hari Sumpah Pemuda)

Apa pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku

(Sebuah Cerita dalam Rangka Hari Sumpah Pemuda)

Jam belum menunjukkan menunjukkan angka 8, seperti biasa aku masih membaca Kompas pagi sebelum pekerjaan dimulai. Telepon di meja ku berdering, aku berpikir siapa yang menelepon pagi-pagi begini. Ketika aku angkat gagang tetepon, belum sampai di telinga sudah terdengar suara direktur bidang, "Morgen, bisa ke ruang saya sekarang?". "Baik Pak Noval, segera saya ke ruang Bapak," jawabku dan segera bergegas ke ruangnya, sambil berkata kepada Siska, Service Assistance, yang setiap hari membantu pekerjaanku.

"Kamu segera bersiap berangkat ke Singapore. Bank kita ditunjuk menjadi bank pelaksana kerjasama kredit rehabilitasi lingkungan bersama Deutsche Bank. Karena kamu menangani segment kredit program, maka kamu yang ditunjuk untuk mengikuti pelatihan dan magang di Kantor Perwakilan Asia Pacific di Singapore yang dimulai Senin depan selama sebulan," Pak Noval tanpa jeda membrondongkan kata-katanya tanpa meminta persetujuan kepadaku sebagai manajer muda bawahannya.

Hari-hari menjelang akhir bulan adalah hari sibuk bagi sebuah Bank, apalagi yang bekerja terkait dengan kredit. Terbayang sibuknya beberapa hari ke depan untuk menjaga kolektibilitas kredit dan juga harus bersiap ikut pelatihan ke Singapore. Dan, sebagai manajer paling muda yang lulusan MDP (Manager Development Program), aku selalu menjadi sorotan para manajer yang lain. Sebuah tugas selain menjadi tantangan untuk sebuah kesempatan, juga akan menjadi tantangan dalam menghadapi segala pertanyaan miring bernada iri dari sesama manajer yang lebih senior.

Keluar dari ruang Pak Noval, aku langsung telepon Ibu di rumah sakit mau lapor bahwa aku akan ke Singapore. Tapi, telepon di ruangan Ibu diangkat oleh asisten Ibu yang mengatakan bahwa Ibu sedang ada di ruang operasi.

Ya, aku hanya berdua dengan Ibu sejak kecil. Saat berumur 5 tahun, Ayahku meninggal karena malaria saat sedang menangani wabah malaria yang menyerang sebagian daerah di Indonesia tahun 1970.

Hari-hari menjelang akhir bulan, adalah hari-hari pulang dini hari. Saat itu, computer belum semuanya otomatis dan tersambung online, sebagian besar masih manual, sehingga menjadi suatu hal yang lumrah di bagian kredit pada akhir bulan pulang dini hari. Ketika sampai di rumah, Ibu sudah tidur, dan pagi hari ketika bangun, Ibu pun sudah berangkat ke rumah sakit karena ada pasien yang mau operasi di pagi hari.

Oleh karena kesibukanku dan kesibukan Ibu di akhir bulan dan awal bulan yang luar biasa, akhirnya aku pun berangkat pada Sabtu, 3 Agustus 1991 ke Singapore tanpa bercerita banyak pada Ibu. Aku sengaja berangkat hari Sabtu agar hari minggu bisa istirahat sebelum mulai pelatihan dan magang di hari Senin.

Ketika aku sampai di resepsionis untuk melapor, petugas terlihat agak bingung menatapku. Aku pun jadi salah tingkah, apakah ada yang salah dalam penampilanku. Dia pun berkata, ""Do you have a twin brother?". Aku pun menjawab, "I don't have any siblings, I am the only child in my family." 

Ketika aku diantar ke ruang tempat aku akan magang dan pelatihan selama sebulan, aku pun terkaget melihat sesosok orang yang bagaikan aku bercermin kepadanya. Manager bidang yang sedang berbincang dengan orang itu pun memandangku tak berkedip, sambil berkata, "Are you two twins?"

Kemudian aku menjawab seperti yang tadi kusampaikan kepada resepsionis, bahwa aku tidak punya saudara karena aku adalah anak tunggal dari almarhum ayahku dan ibuku. Orang yang mirip aku yang bersama Manager Bidang itu ternyata adalah seorang tenaga ahli dari kantor pusat di Jerman yang akan menjadi buddy kami dalam mengikuti pelatihan dan magang program kredit rehabilitasi lingkungan Kerjasama antara Deutsche Bank dan Asian Development Bank dengan beberapa negara Asean. Ada lima negara yang ikut dalam program ini.

Kemudian lelaki yang mirip denganku itu memperkenalkan diri sambil menatapku dalam-dalam, "My name is Gustav, maybe you are right my twin brother." Tentu saja aku semakin bingung, dan ingin bertanya banyak kepadanya, tetapi tiba-tiba keempat peserta lain juga sudah datang. Dan, akhirnya Manager Bidang perwakilan di Singapore memulai meeting untuk apa saja yang akan kami lakukan selama sebulan di Singapore dan Gustav sebagai buddy kami dalam mempersiapkan dan menjalankan program kredit lingkungan di negara kami masing-masing.

Pas jam istirahat, Gustav langsung menghampiriku, dan menyapaku untuk mau tinggal di ruangan berdua dengan dia. Aku pun mengiyakan karena bagaimana pun aku juga penasaran koq ada orang yang benar-benar mirip denganku tetapi beda kebangsaan denganku. Dia orang Jerman, aku orang Indonesia. Meskipun banyak orang yang bilang bahwa aku adalah "bule kesasar".

Aku hanya tahu bahwa Ayah dan Ibuku adalah dokter. Ayahku meninggal saat aku berumur 5 tahun. Dan aku tidak terlalu ingat dengan Ayahku karena aku masih kecil ketika beliau meninggal, dan selama hidupnya beliau sering bertugas ke daerah-daerah terpencil untuk pengobatan dan pencegahan malaria yang sedang banyak melanda berbagai daerah di Indonesia. Sementara ibuku bertugas sebagai dokter di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta. Jadi aku sangat jarang bertemu dengan Ayahku, sehingga memoriku tentang Ayah pun tak terlalu banyak.

Setelah kami tinggal berdua di ruangan, Gustav langsung memelukku sambil berkata bahwa dia yakin aku adalah saudara kembarnya yang hilang. Aku tentu saja kaget, karena yang aku tahu aku adalah anak tunggal. Memang ibuku pernah bercerita bahwa Ayah dan Ibu kuliah di Jerman. Lalu, aku bilang kepada Gustav, bahwa itu tidak mungkin walaupun wajah kita mirip, tetapi dia jauh lebih putih daripadaku.

Gustav pun berkata, "Aku yakin engkaulah saudara kembarku yang dibawa ayah ketika bercerai dengan ibu. Kami telah berusaha mencari keberadaan Ayah dan kamu, tapi kalian hilang seakan tanpa jejak. Rasanya di dunia tidak akan orang yang sangat mirip sama jika mereka bukan bersaudara kembar."

"Baiklah Gustav, kita bertenang dulu, aku masih yakin dengan apa yang disampaikan ibuku bahwa aku adalah anak tunggal, lahir di Jakarta, orangtuaku memang kuliah kedokteran di Jerman. Ketika pulang ke Indonesia, Ayahku menjadi dokter yang menangani wabah malaria di berbagai daerah Indonesia dan ibuku dokter di rumah sakit pemerintah di ibukota negara."

Malam hari, aku ke kantor telepon menelepon Ibu, dan bercerita tadi aku bertemu seseorang yang sangat mirip denganku dan dia merasa aku adalah saudara kembarnya yang hilang bersama ayahnya setelah bercerai dengan ibunya. Tiba-tiba kudengar suara tangis ibuku di ujung telepon, "Morgen, kamu adalah anak ibu satu-satunya. Sejak Ayahmu meninggal, ibu tidak menikah lagi karena begitu sayang padamu. Ibu tidak mau kamu jauh dari Ibu karena ada orang lain dalam kehidupan Ibu. Ibu tidak mau kehilangan kamu. Kamu adalah anak Ibu dan curahan kasih sayang ibu satu-satunya."

"Ibu, aku akan selalu bersamamu, dan tidak akan meninggalkanmu. Tapi mengapa Ibu takut aku meningalkan Ibu? Aku tidak akan mengikuti Gustav. Biarlah dia bermimpi bahwa aku adalah saudara kembarnya yang hilang, tapi kenyataannya aku adalah anak ibu bukan anak ibunya Gustav," sahutku menenangkan Ibu yang terdengar semakin terisak-isak.

Sesampai kembali di hotel, kutemui Gustav sudah duduk di lobby menungguku. Dan dia langsung berdiri dan kembali memelukku lebih erat daripada di kantor tadi, sambil terasa ada airmata menetes di bahuku. Aku menjadi risih dan salah tingkah...

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun