Pendapat Terbanyak Belum Tentu Paling Bijaksana

Dalam sebuah pelajaran yang disampaikan McKinsey Institute melalui japri yang Kakek Merza ikuti  tentang dilema antara pendapat/suara terbanyak dengan kebijaksanaan.

Pelajaran yang disampaikan berkaitan dengan pengalaman seorang CFO (Chief Finance Officer) di sebuah perusahaan kimia besar memiliki perasaan deja vu. 

Baca juga: Apa Arti Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi yang Sebenarnya?

Dejavu adalah perasaan bahwa apa yang dialami sekarang, pernah terjadi di masa lampau. Bahkan, terkadang bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kejadiannya adalah saat seorang CEO (Chief Executive Officer) dan dewan direksi membuat keributan tentang saat menyusun proposal peningkatan kapasitas di bagian selatan Amerika Serikat dan mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk pembangunan dan desain modular dari dua pabrik baru yang lebih besar di wilayah itu.

Proposal yang sama sekali tidak terduga karena sebagian besar pesaing perusahaan mengikuti model pengembangan berkelanjutan yang sama, yang dapat mempermudah mengumpulkan uang dan mendapatkan dukungan untuk proyek konstruksi besar. 

Mengejar proyek semacam itu, tidak diragukan lagi, dapat meningkatkan reputasi semua orang, terutama perusahaan yang dapat membanggakan fasilitas terbaru dan tercanggih.

Baca juga: Seni Pemimpin Mempengaruhi dengan Model Look-Envision-Build (LEB)

CFO perusahaan tersebut tahu bahwa ada masalah keuangan yang terkait dengan mengikuti orang banyak. Jika sekelompok pabrik baru semuanya online pada saat yang sama, maka akan menciptakan kelebihan kapasitas, sehingga harga di seluruh industri bisa runtuh. 

Lantas, bagaimana CFO dapat meyakinkan CEO, dewan direksi, dan lainnya untuk melihat secara berbeda baik peluang maupun biaya peluang dari pembangunan yang diusulkan ini?

Baca juga: Beda Cara Pandang Masyarakat dengan Ekonom dalam Memahami Inflasi

Dalam kejadian tersebut, CFO harus berjuang melawan mentalitas kawanan, yang merupakan bias umum dalam dunia strategi perusahaan, keuangan, inovasi, dan investasi. 

Kondisi yang sama, pertama kali diamati oleh jurnalis Charles Mackay dalam studinya tahun 1841 tentang psikologi kerumunan, "Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds" (Delusi Populer Luar Biasa dan Kegilaan Massa}, yang menandakan munculnya gelembung ekonomi (bubble gum economic).