Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Minat Itikaf di Masjid-masjid Indah dan Bersejarah Sumatra?

16 April 2022   13:36 Diperbarui: 16 April 2022   14:52 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Beberapa masjid indah dan bersejarah di Pulau Sumatra (by Merza Gamal)

Malam ini kita sudah memasuki minggu ketiga bulan Ramadhan, tentu para Kompasianer ke masjid dari hari ke hari untuk menyempurnakan ibadah puasa yang telah dijalani.

Namun demikian, masjid bukanlah sekadar tempat untuk beribadah. Kemegahan serta keunikan dari setiap masjid di nusantara ini menjadi pesona yang sangat memukau. Dalam tulisan ini saya berbagi info beberapa masjid terindah dan bersejarah di Pulau Sumatra yang pernah saya kunjungi dalam menjelajah Nusantara. Mungkin, Anda yang berencana akan Itikaf bersama keluarga, berminat ke masjid-masjid ini?

Mendekati sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan, ada satu ibadah yang biasa dilakukan oleh umat Islam. Itikaf! Berdiam diri di masjid untuk memperbanyak amalan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Hingga pada hari kemenangan tiba, masjid-masjid tetap ramai dikunjungi umat Islam.Tidak hanya sekadar untuk meningkatkan ibadah atau mengenang masa lalu, mengunjungi masjid juga bisa dijadikan sebagai alternatif destinasi wisata.

Berikut adalah 7 masjid di Pulau Sumatra yang saya kunjungi untuk bisa dinikmati bersama dengan para Kompasianer.

Image: Masjid Baiturrahman Banda Aceh (by Merza Gamal)
Image: Masjid Baiturrahman Banda Aceh (by Merza Gamal)

Masjid yang selamat dari hempasan tsunami ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. Keanggunannya tak kalah dengan Taj Mahal di India. Konon, lima kubahnya memang mengadopsi gaya bangunan Islam yang pernah jaya di tempat tersebut.

Masuk lebih dalam, tampak jelas bahwa ukiran sulur dan ornamen masjid ini tidak berasal dari inspirasi lokal.Relung-relungnya lebih dekat dengan gaya Turki atau Persia, sementara jendela-jendela besarnya terlihat menyerupai bangunan Indisch peninggalan Belanda. Siapapun pasti setuju bahwa masjid ini megah tidak hanya dilihat dari segi arsitekturalnya saja. Pada akhir 2004 silam, ketika tsunami menerjang Aceh, Masjid Raya Baiturrahman ini melindungi banyak jiwa.

Image: Masjid Raya Al Mahsun Medan (by Merza Gamal)
Image: Masjid Raya Al Mahsun Medan (by Merza Gamal)

Sejarahnya, masjid raya ini dibangun pada tahun 1906 oleh Sultan Ma'moen Al Rasjid Perkasa Alamsyah. Saat itu, arsitek Belanda bernama Van Erp diminta sultan saat itu untuk merancang masjid ini. Hasilnya adalah perpaduan Timur Tengah dan Eropa. Masjid Raya Al Mashun Medan merupakan salah satu bangunan bersejarah peninggalan Kesultan Deli dan masih dipergunakan oleh masyarakat Muslim untuk salat setiap hari, sejak dipergunakan pertama kali pada tanggal 19 September 1909.

Dinding masjid yang berwarna putih dengan ornamen hijau kebiruan ini terlihat sejuk di antara padatnya lalu lintas Simpang Raya, Medan. Dari depan terlihat kubahnya tidak berbentuk bulat melainkan menyerupai bawang atau berbentuk persegi delapan.Sama dengan bentuk kubahnya,  dinding luar masjid ini juga memiliki bentuk yang sama. Bentuk persegi delapan ini pun diperkuat dengan koridor-koridor yang memisahkan ruang utama dengan ruang lainnya.Hiasan dinding koridor maupun ornamen plafon dan bangunan utama sarat warna merah bata bergaya Mughal India. Dibangun atas prakarsa Sultan Deli pada awal abad ke-20, arsitek dari Masjid ini adalah seorang Belanda.

Image: Masjid Raya An Nur yang megah di Pekanbaru (by Merza Gamal)
Image: Masjid Raya An Nur yang megah di Pekanbaru (by Merza Gamal)

Masjid An Nur dibangun tahun 1966 ketika Kaharuddin Nasution menjadi Gubernur Riau, dan diresmikan penggunaannya tanggal 19 Oktober 1968 oleh Arifin Ahmad, Gubernur Riau waktu itu. Pada tahun 2000 ketika Shaleh Djasit menjadi Gubernur Riau, Masjid Agung An-Nur direnovasi secara besar-besaran dan menempati area yang lebih luas dengan meruntuhkan Stadion Hang Tuah di depan bangunan masjid yang lama.

Masjid Agung An-Nur memang mirip dengan Taj Mahal. Kendati demikian, bukan berarti masjid ini tidak memiliki sentuhan Melayu. Justru nuansa Melayu tampak jelas pada pemilihan warna hijau sebagai warna utama masjid. Selain itu, masjid besar ini juga memiliki beranda sebagai tempat pertemuan masyarakat. Pada umumnya, masjid tidak memiliki elemen beranda. Karena beranda adalah ciri khas rumah panggung ala Melayu. Beranda masjid bisa dimanfaatkan untuk bersilaturahmi sebelum atau sesudah beribadah.

Kubah-kubah berbentuk bawang memang lebih sering muncul pada bangunan masjid di kawasan Sumatra. Akan tetapi, di Masjid Raya An Nur Pekanbaru, selain berbentuk bulat bawang, bentuk kubah terlihat lebih mewah dengan detil ornamen hijau, biru, dan kuning di permukaannya. Gaya mewarnai kubah mirip Istana Kremlin di Rusia ini, justru sering dijumpai pada masjid-masjid modern di tanah Melayu. Di sisi lain, dinding masjid yang berbentuk kubistik dengan celah-celah kecil dipermukaannya menghadirkan nuansa Timur Tengah yang sangat kental.Sebagai bangunan modern, masjid ini juga dilengkapi dengan eskalator menuju lantai atas bangunannya. bentuk keseluruhan kompleks Masjid Raya An Nur ini terintegrasi oleh sekolah-sekolah serta kampus yang berada di sekitarnya.

Image: Masjid Agung At Taqwa Bengkulu dengan kubah yang uni (by Merza Gamal)
Image: Masjid Agung At Taqwa Bengkulu dengan kubah yang uni (by Merza Gamal)

Jika dilihat sekilas, bentuk bangunan Masjid Raya Akbar At-Taqwa Bengkulu lebih menyerupai istana pada masa kolonial ketimbang masjid pada umumnya. Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Bengkulu ini didirikan dekat rumah Presiden RI pertama, Soekarno, saat diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Luas, kokoh, dan sederhana! Demikian kesan yang ditangkap saat saya memasuki halaman masjid terbesar di Provinsi Bengkulu ini. Tiang dan jendela yang besar, langit-langit yang tinggi dengan sentuhan cat serba putih memberikan kesan kuat pada bangunan Masjid At Taqwa. Ornamen interiornya tidak detil, justru tampak besar-besar. Bayang-bayang dari jendela-jendela besar tersebut memantul pada lantai masjid yang terbuat dari marmer. Kondisi seperti ini memberi kesan luas dan sejuk. Keunikan yang menjadi ciri khas masjid ini adalah kubah bulat namun bertingkat tiga layaknya kubah limas. Sekilas mirip piring terbang dalam film- film luar angkasa.  Meskipun masjid yang ada saat ini baru berdiri pada tahun 1988, tetapi awal mula bangunan ini berdiri sejak zaman kompeni Belanda.

Image: Masjid Sultan Mahmud Badaruddin Palembang dengan arsitektur bergaya Tiongkok dan Eropa (by Merza Gamal) 
Image: Masjid Sultan Mahmud Badaruddin Palembang dengan arsitektur bergaya Tiongkok dan Eropa (by Merza Gamal) 

Masjid ini dibangun pada tahun 1738 M (1151 H) dan peresmiannya pada hari Senin 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung ini didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I, Jayo Wikramo. Pembangunan tersebut berlangsung sekitar 10 tahun dan berada pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dalam pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I.

Sekilas bangunan ini merupakan salah satu masjid tanpa kubah yang terdapat di Pulau Sumatera. Atapnya bergaya limas bersusun tiga, menyerupai bangunan masjid yang ada di Pulau Jawa. Akan tetapi, hiasan atap yang berwarna merah dan emas serta ukiran-ukiran ornamennya menghadirkan arsitektur bergaya China. Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin juga terlihat mirip dengan pagoda. lain di luar, lain pula di dalam! Hiasan interior masjid dipenuhi kaligrafi berwarna hijau, serta warna-warna semarak lainnya yang sering dijumpai dalam kerajinan khas Palembang.Walaupun, telah mengalami pemugaran berkali-kali, unsur arsitektur China tetap ada dalam bangunan masjid ini. Konon, gaya ala China sudah ada sejak pertama kali masjid ini didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin di abad ke-18.  

Image: MAsjid Al Fahlah Jambi yang lebih dikenal sebagai MAsjid 1000 Tiang (by Merza Gamal)
Image: MAsjid Al Fahlah Jambi yang lebih dikenal sebagai MAsjid 1000 Tiang (by Merza Gamal)

Masjid ini bisa dibilang tidak berdinding! Satu-satunya dinding adalah sisi barat bagian mihrab atau tempat imam salat yang terbuat dari kayu berukir.Itu pun tidak sepenuhnya menjangkau puncak pilar. Artinya hanya tiga perempat dinding yang tertutup sekat. Kemudian tiga sisi lainnya dipenuhi oleh tiang dengan berbagai bentuk. Komposisi tiangnya berlapis-lapis dengan beraneka bentuk dan bahan.Tidak berlebihan apabila warga menyebut bangunan tersebut sebagai Masjid 1.000 Tiang mengalahkan nama aslinya, yaitu Al Falah. Pada awalnya tanah tempat berdirinya masjid tersebut merupakan lokasi istana Sultan Thaha Syaifuddin. Namun pada awal abad ke-20, Belanda membumi hanguskan istana tersebut dan menjadikan tanah di atasnya sebagai kampung militer.

Image: Masjid Raya Pangkalan Koto Baru di jalan lintas Riau-Sumatra Barat (by Merza Gamal)
Image: Masjid Raya Pangkalan Koto Baru di jalan lintas Riau-Sumatra Barat (by Merza Gamal)

Meskipun, tidak terletak di ibukota provinsi seperti enam masjid sebelumnya, Masjid Raya Pangkalan Koto Baru memiliki keunikan dan sejarah yang memukau. Dahulu kala, Pangkalan juga menjadi pangkal pelabuhan kapal-kapal ke Riau saat belum ada jalan raya yang menghubungkan Riau-Sumatera Barat sebelum abad ke19. Jadi  nama Pangkalan ini disebabkan oleh banyaknya kapal-kapal yang berpangkalan disana. Nagari Pangkalan adalah pelabuhan besar dan ramai di waktu silam yang dikenal sebagai Sungai Mahek.

Dari lokasi itu, para saudagar menempuh jalur perdagangan menuju Sungai Kampar hingga muaranya di Selat Sunda. Setelah itu ke Malaysia, Singapura sekarang, dan beberapa negara lain. Di atas bekas pelabuhan kuno tersebut saat ini ada jembatan yang menghubungkan jalan raya Riau-Sumatera Barat. Dan di tepian Sungai Mahek berdiri bangunan masjid raya Koto Baru nan megah.

Awalnya, arstitektur mesjid ini yang bergaya Bodi Caniago: atapnya berupa tungkuih nasi bersusun. Ini menandakan bahwa orang Koto Baru menganut kelarasan Bodi Caniago. Namun seiring renovasi yang dilakukan arsitektur masjid berubah menjadi bergaya Eropa.

Uniknya lagi mimbar masjid dibawa oleh para saudagar dari Kesultanan Smabas-Kalimantan Barat sekitar tahun 1800-an usai berdagang melewati sungai Siak, Riau. Satu buah mimbar untuk masjid Raya Pangkalan saat ini, dan yang satu lagi untuk masjid Raya yang ada di Pasar Bawah Pekanbaru,

Image: Mimbar kembar Masjid Raya Pangkalan Koto Baru dengan  Masjid Raya Pekanbaru yang dibawa dari Kesultanan Sambas Kalimantan pada abad 18
Image: Mimbar kembar Masjid Raya Pangkalan Koto Baru dengan  Masjid Raya Pekanbaru yang dibawa dari Kesultanan Sambas Kalimantan pada abad 18

Saat ini Masjid Raya Pangkalan Koto Baru berada di bawah jalan raya lintas Riau- Sumatera. Masjid ini menjadi tempat persinggahan untuk shalat para musafir atau traveler yang melewati lintas Riau-Sumatera Barat. Banyak sejarah tersimpan di lokasi sekitar Masjid Raya Pangkalan Koto Baru.

Demikian jelajah beberapa masjid indah dan bersejarah  di Pulau Sumatra yang mungkin bisa menjadi pilihan untuk melakukan itikaf Ramadhan bersama keluarga pada 10 hari terakhir Ramadhan tahun ini. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun