Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pemahaman Keliru terhadap Motivasi Islami

23 Oktober 2021   08:02 Diperbarui: 23 Oktober 2021   13:26 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Doa dan Usaha (Photo by Merza Gamal)

Semangat ideal ajaran Islam, pada hakekatnya mengajak untuk kemajuan, prestasi, kompetisi sehat, dan kemampuan memberikan rahmat untuk alam semesta (QS. Al-Anbiya'/ 21:107) serta melepaskan manusia dari dunia yang gelap dan sesat menuju dunia terang (QS. Al-Ahzab/ 33:43). Pada intinya ajaran Islam merupakan petunjuk bagi manusia (QS. Al-Baqarah/ 2:185) yang dapat diartikan bahwa ajaran Islam itu berlaku secara komprehensif dan universal. 

Namun dalam realita, ajaran Islam diterima dan diartikan sebagai ajaran-ajaran yang pada intinya menjauhkan diri dari hiruk pikuk keduniaan dan memfokuskan ibadah hanya semata-mata kepada akhirat. Dengan demikian, pemaknaan dan pemahamannya menjadi penghambat kemajuan keduniaan. Sehingga, akhirnya menyebabkan kontradiktif antara semangat ajaran motivasi Islam yang menyuruh umatnya makmur di dunia dan jaya di akhirat dengan realita umat yang tertinggal dalam berbagai aspek.

Beberapa praktek terhadap ajaran motivasi Islam yang dipahami dengan keliru di tengah-tengah umat Islam, antara lain, seperti istilah "sabar", "qana'ah", "tawakkal", "insya Allah", "zuhud", dan sejenisnya. Istilah-istilah tersebut dalam pemahaman sehari-hari sering dijadikan landasan hidup. Seolah-olah memberikan justifikasi kepada umat Islam terhadap apa yang dilakukan dengan konotasi yang negatif, yakni lamban, terbelakang, kemalasan, dan semacamnya. Padahal arti yang sebenarnya harus berkonotasi positif, tidak menghambat kemajuan ekonomi dan perkembangnnya, sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

  • Sabar mengandung arti proses menuju keberhasilan yang tidak mengenal kegagalan, karena disertai sikap tangguh, pantang menyerah, teliti, tabah, dan tidak mudah putus asa, namun pemahaman yang terjadi pada umat adalah sabar dianggap sebagai sikap yang tidak cepat-cepat dan perlahan, sehingga identik dengan lamban.
  • Qana'ah mengandung arti sikap yang jujur untuk menerima hasil sesuai dengan kerjanya, tidak serakah, tidak menuntut hasil yang lebih dengan kualitas kerja yang rendah, tidak iri dan dengki, tidak menghayal di luar kemampuannya, atau dengan kata lain qana'ah berarti produktivitas yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan dan tingkat kerja yang dilakukan, tetapi dalam pemahaman umat, qana'ah dipahami sebagai sikap menerima apa adanya dan berkonotasi mudah menyerah, sehingga tuntutan untuk kemajuan dianggap sebagai hal yang tidak perlu.
  • Tawakkal  mengandung arti sikap akhir setelah bekerja dan berusaha keras secara maksimal dan dilakukan berulangkali dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, tetapi dalam pemahaman yang terjadi adalah sikap yang menyerahkan diri dan cita-cita kepada keadaan tanpa perlu adanya suatu usaha maksimal atau sikap fatalis.
  • Insya Allah mengandung arti kesanggupan seseorang memenuhi janji secara serius dan hanya alasan di luar kekuasaan dirinya yang dapat membatalkan janji tersebut, tetapi dalam pemahaman dan pengamalannya terdapat kekeliruan besar terhadap perkataan insya Allah tersebut, yakni dijadikan alat untuk menghindari atau mengelakkan janji di balik nama Allah.
  • Zuhud, mengandung arti meninggalkan hal-hal yang menyebabkan jauh dari Allah atau dipahami sebagai anti keserakahan, namun yang terjadi dalam praktek dipahami sebagai anti keduniaan atau anti harta. Menurut Qardhawi (1977) hadits-hadits yang memuji sikap zuhud bukan berarti memuji kemiskinan, tetapi berarti memiliki sesuatu dan menggunakannya secara sederhana. Orang zahid adalah mereka yang memiliki dunia dengan meletakkannya di tangan bukan di dalam hati. Menurut ajaran Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT yang harus disyukuri, dan kemiskinan adalah masalah bahkan musibah yang harus dilenyapkan, serta tidak ada satu pun ayat Al Quran yang memuji kemiskinan dan tidak ada sebaris hadits sahih yang memujanya.

Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia. Paling kurang ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. 

Untuk mewujudkan hal tersebut, Islam mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau melakukan usaha, menyebar di muka bumi, dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah SWT sebagaimana firman-Nya: "Dialah Yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. al-Mulk:5)

Kata "bekerja" dalam ayat-ayat Al Qur'an mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa (Qhardawi, 1977). Kerja atau melakukan usaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizin Allah.

Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan melakukan usaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran "tawakkal" yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. 

Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah hadits, sangat menghargai "kerja", seperti salah satu haditsnya yang berbunyi, "Jika kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah akan memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang terbang tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang."

Hadits di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja atau melakukan usaha, bahkan harus meninggalkan tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Penulis,

Merza Gamal

Author of Change Management & Cultural Transformation

Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun