Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Waktu Terlarang Berhubungan Seks (17+)

16 November 2014   04:03 Diperbarui: 4 April 2017   17:25 2649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14160600831748919412

 

Dalam ajaran agama Hindu, ada empat tujuan hidup manusia yang disebut ‘Catur Purusa Artha’ yaitu dharma (kebenaran; dalam kontek lebih luas dapat diartikan sebagai pengetahuan), artha (kekayaan), kama (keinginan, nafsu, seksual) dan moksa (pelepasan dari ikatan lahir-hidup-mati, kebebasan).

Seks merupakan salah satu kebutuhan biologis bagi mahkluk hidup, khususnya oleh mahkluk yang berkaki dua, memiliki hidung, bertangan dua, berjalan dengan berdiri, memiliki pikiran, yang disebut manusia.

Hubungan seks dianggap surganya bagi pasangan suami-istri, tak jarang membuat seseorang tenggelam dalam kesenangan dunia material. Hubungan seks (kama) merupakan salah satu tujuan hidup manusia setelah kekayaan (artha), akan tetapi untuk mencapai tujuan tersebut harus berlandaskan pada dharma (kebenaran, aturan, hukum). Demikian halnya melakukan hubungan badan (bersanggama, hubungan intim) memiliki tata kramanya sendiri.

Terdapat berbagai penjelasan kitab suci mengenai tata cara berhubungan seks yang benar. Akan tetapi dalam tulisan ini, hanya berfokus pada ketentuan waktu yang dilarang untuk melakukan hubungan seks agar terhindar dari perbuatan dosa.

Masyarakat kebanyakan beranggapan bahwa bersanggama dapat dilakukan kapan saja tanpa memperdulikan waktu terlarang untuk bersanggama. Secara alami, gairah seksual seseorang bangkit ketika malam hari, sehingga bersanggama selalu dilakukan pada malam hari. Akan tetapi, ada beberapa orang yang melakukan hubungan seksual pada siang hari akibat tidak mampu mengendalikan nafsu seksnya. Sejatinya, agama tidak membenarkan seseorang bersenggama pada siang hari, ketika matahari memancarkan sinarnya.

Didalam Veda ada dinyatakan “…O suami yang bodoh, yang penuh kejantanan, saya melarang engkau melakukan senggama pada waktu subuh dan waktu matahari memancarkan sinarnya”.  Bersenggama hanya dibenarkan pada malam hari.

Mengacu pada Bhagavata Purana 3.14.23 yang mengisahkan kehamilan Dhiti, hubungan badan yang paling ideal dapat dilakukan 3 jam setelah matahari tenggelam atau 3 jam sebelum matahari terbit dan hindari waktu-waktu saat tengah malam. Karena dikatakan waktu-waktu yang tidak tepat seperti sandya dan tengah malam adalah waktu dimana mahluk-mahluk dan roh-roh jahat sedang berkeliaran dan saling berebut untuk mendapatkan kesempatan terlahir kembali. Veda menegaskan bahwa proses masuknya atman (jiva) kedalam kandungan terjadi pada saat pembuahan sel telur oleh sperma, sehingga jika terjadi pada saat yang tidak tepat seperti ini dikhawatirkan yang akan menjelma adalah jiva-jiva yang berasal dari mahluk-mahluk yang bertabiat jahat. Disamping faktor waktu, faktor lokasi berhubungan badan juga sangatlah menentukan, sehingga dianjurkan untuk melakukan hubungan badan di tempat yang bersih, menyenangkan dan nyaman di rumah. Hubungan badan sama sekali tidak boleh dilakukan di tempat-tempat suci seperti tempat ziarah suci (tirthas), pura, kuil atau mandir. Juga tidak dibenarkan melakukan hubungan badan di tempat-tempat angker, seperti tempat pembakaran mayat/kuburan, ashrama seorang guru, di rumah seorang Vaisnava, dibawah pohon suci seperti beringin, mangga, nim, bodi dan lain-lainnya, di Gosala (kandang sapi), di hutan dan juga di dalam air (Subudhi, narayanasmrti, 2010).

Waktu-waktu sakral yang wajib dihindari bersenggama adalah purnama, bulan mati, prawani/sehari sebelum purnama dan bulan mati, hari-hari besar keagamaan atau hari suci, hari paruh gelap ke delapan. Kitab Sarasamuccaya menegaskan, “Hendaknya seorang suami dan istri yang menghendaki hidup langgeng dalam berumah tangga, menghindari untuk melakukan senggama pada bulan mati (tilem), paruh terang dan paruh gelap ke delapan (8), paruh terang dan paruh gelap ke empat belas/14 (prawani) serta pada bulan purnama” (Sarasamuccaya 255).

Keterangan lontar Sarasamuccaya dipertegas dalam kita Siva Purana, bahwa seseorang tidak dibenarkan melakukan hubungan seksual pada saat hari Sivaratri (sehari sebelum bulan mati), dan juga dilarang melakukan pemujaan atau sembahyang kepada Tuhan usai melakukan hubungan seks sebelum mandi, dengan kata lain suami istri wajib hukumnya untuk menyucikan diri (mandi) jika hendak melakukan pemujaan kepada Tuhan setelah melakukan hubungan seksual. Dalam kitab Siva Purana terdapat kisah sebagai berikut (hanya ditulis poinnya saja):

Rsi Suta berkata:

... ada sebuah peristiwa pada saat Sivaratri ketika semua sedang melakukan puasa, Sudarsana melakukan hubungan seksual dengan istrinya dan kemudian melakukan pemujaan. Tapi sebelum ia melakukan ibadah, ia tidak mandi. Untuk perbuatan ini Deva Siva marah dan berkata.(Siva Purana, Kotirudra Samhita XIII. 26)

Dewa Siva bersabda:

Wahai orang yang tidak memiliki tata krama, kamu melakukan hubungan seksual dengan istri pada saat Sivaratri. Tanpa mandi engkau melakukan pemujaan. Engkau sebenarnya dekat dengan ketikdakbijaksanaan. Karena engkau telah melakukan ini secara sadar, jadilah orang yang lamban dan tidak sadar. Anda adalah orang yang tak tersentuh bagi-Ku. Hindari menyentuh-Ku. (Siva Purana, Kotirudra Samhita XIII. 29-30)

Selain itu, dalam berbagai literatur Veda (seperti Siva Purana), demikian juga dalam tradisi, bersanggama juga dilarang pada saat istri sedang menstruasi (kotor kain), seorang istri yang sedang menstruasi tidak dibenarkan untuk diajak seranjang, bahkan tidak dibenarkan diajak berbicara (hal ini terutama dilakukan oleh orang yang mempelajari spiritual). Hal ini dijelaskan didalam lontar Agastya Parwa.

Tempat brahmahatya yang terpenting pada siang hari adalah pada wanita juga. Sesungguhnya ia berkurang setiap bulan, brahmahatya pada wanita keluar berbentuk darah itulah yang disebut kotor kain di masyarakat. Oleh karena itu, orang yang hendak mencapai surga tidak boleh memegang perhiasannya dan makanan apalagi satu tempat tidur dengan wanita yang sedang kotor kain, karena sebenarnya ke luar brahmahatyanya turut pula mendapat dosa yang diajak berbicara lebih-lebih pula kalau sampai disentuh. Sungguh-sungguh itu larangan menurut Sang Hyang Agama. Wanita yang tidak keluar brahmahatyanya disebut kuming di masyarakat. Tidak diajak serta dalam pergaulan, tidak dibenarkan ikut dalam upacara kematian (tileman) pada Hyang Siwamandala, dan sebagainya, Yajna Sradha. Dia harus berhenti sebagai pelayan pekerjaan-pekerjaan itu meskipun ikut menyentuh saji. Maka itu anak yang belum kotor kain dan wanita tua yang tidak kotor kain lagi memegang saji Bhatara sampai saat ini (Agastya Parwa halaman 58).

 



 

 

 

----

 

Note: Sudarsana putra brahmana Dadhici (sloka 20), istri Sudarsana bernama Dukula (sloka 21). Sudarsana melakukan penebusan dosa dengan metode pemujaan Candi dan syair agung kepada dewi Parvati dengan ketaatan yang luar biasa (sloka 37). Dewi Parvati berkenan, Sudarsana dijadikan anak angkat (sloka 39), Sudarsana diupacarai ritual penyucian dengan Ghee, diberikan tiga senar suci dengan simpul tunggal dan isntruksi tentang Sivagayatri terdiri dari enam belas suku kata (sloka 42-43). Kemudian, Sudarsana melakukan pemujaan Samkalpapuja (sloka 44). Ini membuat dewa Siva berkenan (45).

 

 

 

 


 

Baca selengkapnya Hubungan Seks dengan Saudara Tiri?

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun