Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tapa Brata Wanita Hamil

30 April 2016   10:19 Diperbarui: 31 Mei 2016   16:39 5403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kesimpulan ajaran agama pada dasarnya membentuk karakter, mental, dan tumbuh kembang seorang anak dapat dibentuk pada tiga masa, yaitu ketika kita sebagai anak, pada saat istri hamil, dan setelah sang anak lahir.

Pertama, seseorang membentuk karakter anaknya dengan membentuk karakter diri sendiri selama sebagai anak yaitu semasih bujang (sudah dewasa); sudah tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimana perilaku seorang anak terhadap orang tua dan orang lain, seperti itu pula anaknya kelak akan bersikap terhadap dirinya (orang tua) dan orang lain. Demikianpula berkaitan dengan kesehatan. Sehat atau tidak sehat seseorang, itu pula yang akan menurun pada anaknya. Seorang calon ayah yang memiliki penyakit mag berpeluang besar memiliki anak sakit mag. Begitu pula penyakit lainnya, akan menurun pada anak melalui darah orang tuanya, terutama penyakit turunan. Oleh karena itu, enam bulan sebelum menikah seseorang hendaknya sudah dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. 

Kedua, sebagaimana tindakan suami dan istri, saat istri hamil, seperti itu pula karakter anak. Apakah pemalas, pemarah, penjudi, mabuk-mabukan, penggila wanita, ataukah penyayang, suka berderma, taat beribadah, suka menolong, ramah, sopan, rajin belajar dan lain sebagainya. Apa yang dilakukan selama istri hamil, dia mendengarkannya dari dalam perut, dan akan diterapkan selama hidupnya. 

Akan hal itu, ada sebuah kisah di dalam Mahabharata. Waktu Subadra hamil, Arjuna pernah bercerita tentang siasat perang Cakrawayu kepada istrinya, Subadra. Ketika anak sang Arjuna, Sang Abimanyu sudah besar, dia mampu menghadapi musuhnya hingga kocar-kacir dan mampu menembus Cakrawayu ketika perang besar di Kuruksetra, menghadapi pihak para Kaurawa yang dipimpin guru Drona dengan gagah berani. Guru Drona terkejut luar biasa dengan anak muda yang sudah mampu menguasai Cakrawayu dan bertempur melawan kesatria tangguh. Tidak ada yang mampu menembus siasat perang Cakrawayu selain Arjuna dan Guru Drona, akan tetapi Abimanyu mampu melalukannya meski usianya masih muda. Saat perang besar itu, Sang Abimanyu terjebak di tengah medan perang, dia tidak tahu bagaimana cara keluar dari jebakan Guru Drona. Akhirnya Sang Abimanyu terbunuh, dikeroyok pasukan Kaurawa. Kesalahannya, Sang Abimanyu tidak tahu cara keluarnya, karena waktu dia masih dalam kandungan, Sang Arjuna bercerita tentang siasat perang Cakrawayu, Dewi Subadra tertidur ketika Arjuna menjelaskan cara keluar dari Cakrawayu.

Yang terakhir, membentuk karakter anak sesudah dia lahir, tumbuh dan berkembang. Memberi suri tauladan maupun dengan pendidikan budi pekerti dan mengontrol pergaulannya. Sejatinya jauh lebih penting membentuk pribadi diri sendiri saat masih muda, dan saat istri hamil. Anak itu seperti sebuah bayangan dari orang tuanya. Pepatah lama mengatakan;air mengalirnya ke bawah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sebagaimana orang tua demikianlah anaknya.

Dalam tiga masa itu, pada saat istri hamil lebih menentukan pembentukan karakter maupun tumbuh kembang anak dalam kandungan, terutama berkaitan dengan nasib, kecerdasan dan kesehatannya.  Oleh sebab itu penting untuk mengetahui perintah dan larangan agama ketika seorang wanita sedang hamil. Perintah dan larangan berkaitan dengan hal itu dalam masyarakat Hindu dipahami sebagai tapa brata wanita hamil. 

Saya akan mencoba mengulas apa yang diajarkan oleh leluhur masyarakat Bali yang tertulis dalam Lontar Usadha Tatengger Beling. Lontar ini menggunakan bahasa Bali Kuno, meski demikian saya mencoba meraba-raba artinya dan mencoba mengulasnya. 

“Iti tingkah tatwa kramaning wang, yen sira angemban wong beling, yan rikala sang beling maturu sirep, aja sira manundun, malih ngungkulin, apan sang beling risedeknia pules, kayogain antuk sanghyang suksma, dewa kala sami mayoga, muah sang pitara uli lanang wadon, sami mayoga, manggawe, ni uripne wong rare, muah sanghyang Mertyu jiwa, sanghyang pramanawisesa, sami ida mayoga. Malih risedek sang beling amangan, rikala pasang sembe, aja sira ngelawatin nasine pinangan sang beling.”

Demikianlah sepenggal bunyi lontar Usadha Tatengger Beling, kurang lebih artinya sebagai berikut; 

Inilah ajaran tingkah laku manusia, barangsiapa memelihara (memiliki) orang sedang hamil, bilamana orang yang hamil sedang tidur nyenyak, janganlah dibangunkan, juga jangan ngungkulin (berada lebih tinggi darinya, termasuk melangkahinya), sebab orang yang sedang hamil ketika tidur, dijaga oleh sanghyang suksma, dewa-setan semua sedang beryoga, juga leluhur dari pihak laki-laki dan perempuan, semua beryoga, menjaga kehidupan janin/bayi, juga sang Mertyu jiwa, sanghyang pramanawisesa (paramawisesa/YangKuasa), semua beryoga. Juga ketika orang hamil sedang makan, ketika menghidupkan sembe (lampu), janganlah membayangi nasi yang dimakan orang hamil. 

Bilamana larangan tersebut dilanggar maka akibatnya buruk;dewa-dewi, leluhur, buta kala akan murka, tidak berkenan menjaga bayi bersangkutan sehingga kekuatan negatif mudah masuk dan mengganggu orang yang hamil. Akibatnya anak yang ada dalam kandungan bisa sakit, bahkan keguguran, atau lahir sebelum waktunya, lahir prematur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun