Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Homoseksual Bertentangan dengan Dharma

26 September 2015   05:41 Diperbarui: 4 April 2017   16:36 7169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apabila mitologi tersebut dijadikan rujukan sebagai pembenaran homoseksual tentu menjadi salah kaprah, lebih-lebih tanpa melihat dibalik tujuan dari pertemuan dewa Siwa dengan dewa Wisnu. Demikian pula penafsiran dangkal tentang Arjuna menjadi bencong bernama Brihanala sebagai pembenaran keberadaan waria. Sangat jelas, tujuan Arjuna menjadi Brihanala untuk tujuan mulia, yaitu agar tidak terbongkar penyamaran para pandawa.

Serupa kasusnya dengan kisah Shri Kandi yang lahir menjadi perempuan kemudian berubah menjadi laki-laki untuk tujuan mulia, yaitu untuk mengakhiri hidup Bhisma yang agung. Tanpa kehadiran Shri Kandi dalam medan perang, maka Bhisma yang agung tak ada yang mampu mengalahkannya. Perubahan wujud Shri Kandi pun pada awalnya tidak direstui penguasa alam semesta, Mahadewa. Akan tetapi demi tujuan tegaknya Dharma, Shri Kandi direstui menjadi lelaki dalam beberapa waktu, hanya untuk mengalahkan Bhisma dalam medan perang.

Penafsiran kisah-kisah dalam mitologi Hindu tidak dapat ditafsirkan secara membabi buta, terlebih dijadikan pembenaran terhadap perilaku seks menyimpang, seperti homoseksual; lesbi dan gay. Larangan pernikahan diantara homoseksual jelas-jelas diatur dalam kitab suci, terutama dalam kitab suci Manawa Dharmasastra dan Kama Sutra. Homoseksual dalam literatur Veda disebut Auparistaka, hubungan dengan mulut. Akan hal tersebut terdapat uraian dalam buku Kama Sutra sebagai berikut;

Ada dua jenis waria, yaitu mereka yang bertindak selaku pria dan mereka yang bertindak selaku wanita. Waria yang bertindak selaku wanita menyamarkan diri mereka dalam berpakaian, pembicaraan, gerakan tangan dan kepala, kelemah lembutan, sifat pemalunya, kesederhanaannya, kegemulaiannya dan sifat penakutnya. Kegiatan yang biasa dilakukan terhadap bagian jaghana atau bagian tengah dari wanita, oleh para waria ini dilakukan dengan mulutnya dan hal inilah yang disebut Auparistaka. Para waria ini mendapat kesenangan imajinatif dan mata pencaharian mereka dari jenis hubungan badan semacam itu menjadikan mereka menjalani kehidupan sebagai wanita penghibur. Demikian keterlibatan tersamar dari seorang waria yang berperan sebagai wanita. (Kama Sutra, hal 127-128).

Dari uraian tersebut bahwa keberadaan homoseksual sudah ada sejak jaman dahulu kala. Mereka memang diterima kehadirannya dalam masyarakat Hindu, hanya saja mereka bekerja sebagai penghibur. Selain itu, mereka juga dibenarkan menjadi pemijat, pelayan, dan pekerjaan yang sejenisnya. Demikian pula dengan lesbian, mereka diterima kehadirannya dalam masyarakat.

Kama Sutra menyebutkan, “Auparistaka juga dilakukan oleh wanita-wanita liar dan para wanita penghibur, pelayan wanita, gadis-gadis pembantu rumah tangga, yakni mereka yang tidak diperistri siapapun, tetapi yang bermata pencaharian dengan memijat.” (Kama Sutra, hal 130).

Dalam kitab suci Manawa Dharmasastra, Astamodyaya atau bab delapan menyinggung hukuman terhadap pelaku lesbi. Mereka tidak dibenarkan menodai seorang gadis, mereka dapat dipidana atau didenda. Pada sloka 369 dinyatakan, apabila seorang gadis menodai seorang gadis lain, akan didenda sebesar 200 pana dan membayar mas kawin dua kali lipat.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa bilamana seorang lesbi menodai seorang gadis lain maka dapat dikenakan sanksi. Dengan kata lain, seorang lesbi dilarang mendapatkan kesenangan seksual dengan seorang gadis yang normal. Apabila itu dilakukan, lebih-lebih dengan pemaksaan, maka seorang lesbi dapat dipidana. Di dalam kitab suci Manawa Dharmasastra tidak ditemukan aturan yang menyinggung keberadaan gay. Meski demikian, aturan ini dapat juga diberlakukan terhadap mereka.

Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana jika lesbi dengan lesbi atau gay dengan gay? menurut hemat saya, seorang lesbi ataupun gay dibenarkan mendapatkan kesenangan seksual dengan pasangan yang sama-sama homoseksual, akan tetapi tidak dibenarkan untuk menikah, lebih-lebih dengan upacara suci, puja mantra Veda. Penafsiran ini berdasarkan penjelasan Kama Sutra sebagai berikut;

Para Acarya berpendapat bahwa Auparistaka ini merupakan perbuatan seekor anjing dan manusia, karena merupakan perbuatan rendah dan bertentangan dengan aturan kitab suci (Dharmasastra) dan karena manusia sendiri menderita dengan membiarkan linggam-nya bersentuhan dengan mulut para waria dan wanita. Tetapi Watsyayana berkata bahwa aturan kitab suci tidak melarang mereka yang mengunjungi wanita penghibur dan hukum melarang pelaksanaan Auparistaka dengan wanita yang bersuami saja. (Kama Sutra, hal 130-131).

Kitab suci Manawa Dharmasastra juga mengatur biseksual, yaitu seseorang yang menyukai sesama jenis sekaligus lawan jenis. Pada sloka 370, bab delapan, dinyatakan; bila seorang istri menodai seorang gadis, seketika kepalanya digunduli atau dua dari jari tangannya dipotong dan diarak naik keledai keliling kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun