Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Toleransi Raja Ashoka

20 Juli 2015   02:51 Diperbarui: 20 Juli 2015   02:51 5207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ashoka yang Agung"][/caption]

Raja Ashoka atau Ashokavardana merupakan salah seorang raja di kerajaan Magadha yang sangat termasyur dalam sejarah India. Dalam kisah Mahabharata, kerajaan Magadha diperintah oleh Raja Jarasanda yang dikalahkan Bima, adik dari Yudistira. Dapat dikatakan, raja Ashoka menyatukan kembali wilayah kekuasaan Astina pura.

Menurut wikipedia raja Ashoka berkuasa dari 273 SM sampai 232 SM. Asoka menguasai sebagian besar anak benua India, dari apa yang sekarang disebut Afganistan sampai Bangladesh dan di selatan sampai sejauh Mysore.

Penulis Britania H. G. Wells menulis tentang Asoka: "Dalam sejarah dunia, ada ribuan raja dan kaisar yang menyebut diri mereka sendiri ‘Yang Agung’, ‘Yang Mulia’ dan ‘Yang Sangat Mulia’ dan sebagainya. Mereka bersinar selama suatu waktu singkat, dan kemudian cepat menghilang. Tetapi Asoka tetap bersinar dan bersinar cemerlang seperti sebuah bintang cemerlang bahkan sampai hari ini".

Kisah kehidupan Ashoka berbeda-beda. Dalam blog Devanaga Budhis Center menyatakan bahwa Ashoka merupakan reinkarnasi dari Jaya, seorang anak yang pernah bertemu dengan sang Budha. Sedangkan Radha Gupta reikarnasi dari Vijaya. Ketika sang Budha bertemu Jaya, sang Budha meramalkan, ‘Dua ratus delapan belas tahun setelah kematian-Ku akan muncul seorang raja bernama Asoka di Pataliputta. Ia akan menguasai salah satu dari empat benua dan menghiasi Jambudipa dengan relik-relik tubuh-Ku dengan membangun delapan puluh empat ribu stupa untuk kemakmuran orang banyak. Ia akan membuat stupa-stupa ini dihormati oleh para dewa dan manusia. Nama besarnya akan tersebar luas. Persembahan berjasanya hanyalah segenggam tanah yang dimasukkan Jaya ke dalam mangkuk Sang Tathagata.”

Di dalam kitab Mahabharata, Ashoka dinyatakan reinkarnasi dari Asura, “Asura Asva, putra Diti, bereinkarnasi di bumi menjadi Raja Asoka yang energinya berlebihan dan tidak terkalahkan dalam pertempuran” (Mahabarata, Adi parwa, halaman 43). Menurut legenda, raja Ashoka merupakan anak dari raja Bindusara, cucu dari raja Chandragupta pendiri kekaisaran Maurya. Ibu Ashoka bernama Dharma atau Subhadrangi, putri dari seorang brahmana dari Campa yang menganut sekte Ajivika.

Pada awal pemerintahannya, menurut pandangan agama Budha; raja Ashoka dinyatakan sebagai raja yang bengis, kejam. Kemudian raja Ashoka memeluk agama Budha setelah usai perang Kalingga yang menyebabkan ratusan ribu orang terbunuh. Hal itu menyebabkan raja Ashoka sangat sedih, hingga kemudian bertekad untuk mempraktekan ajaran Ahimsa (non kekerasan) sang Budha, dan mendukung penyebaran ajaran Budha ke berbagai belahan dunia. Pendapat ini diduga untuk menyudutkan ajaran Brahmin (Hindu) sebagai ajaran yang mengajarkan kekerasan.

Menurut Ven. S. Dhammika dalam buku Maklumat Raja Ashoka, menyebutkan; Cerita-cerita mengenai raja ini (Ashoka), meski secara garis besar memang sama namun sangat berbeda dalam hal rinciannya, dapat ditemukan pada Divyavadana, Asokavadana, Mahavamsa dan beberapa tulisan lainnya. Semua mengisahkan tentang seorang pangeran yang awalnya luar biasa kejam dan brutal yang telah memerintahkan pembunuhan saudara-saudaranya dalam perebutan tahta, kemudian justru secara dramatis berbalik memeluk Buddhadharma dan memerintah dengan adil serta bijaksana di sepanjang sisa hidupnya. Raja Ashoka mengambil gelar Devanampiya Piyadasi yang berarti ‘Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, Ia yang memandang dengan penuh cinta kasih’.

Pada masa kekaisaran Maurya yang diperintah raja Ashoka, sudah ada beberapa aliran kepercayaan yang dianut masyarakat pada masa itu, yang merupakan turunan dari ajaran Veda; seperti agama Brahmin (Hindu, terutama mazab Siwa), Ajivika, Jaina, Budha, dan kepercayaan dari Yunani yaitu Hellenisme.

Ven. S. Dhammika menyatakan bahwa Asoka memandang bahwa reformasi yang dilakukannya sebagai bagian dari kewajiban seorang umat Buddha. Tetapi, walau Beliau adalah seorang Buddhis yang sangat antusias, Beliau jelas: bukan seorang yang fanatik buta terhadap agamanya sendiri, juga bukan orang yang tidak toleran terhadap ajaran lainnya. Beliau kelihatan memiliki pengharapan yang tulus buat mengajak setiap orang untuk menerapkan ajaran yang dianutnya masing-masing dengan kemantapan yang sama seperti sebagaimana Beliau mempraktikkan agamanya sendiri.

Dengan kata lain bahwa raja Ashoka merupakan raja yang toleran, ia menghargai tumbuh kembang berbagai agama atau keyakinan masyarakatnya. Konsep toleransi Raja Ashoka dapat ditemukan dalam Maklumat Raja Ashoka, yang ditulis pada pilar-pilar batu. Dalam maklumat Empat Belas Batu disebutkan bahwa setiap agama dapat berkembang dimana saja, maklumat tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut;

Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, Raja Piyadasi, berhasrat bahwa semua ajaran agama dapat berkembang di mana saja, bagi semuanya berhasrat untuk mengendalikan diri dan menjaga kemurnian hati16. Tetapi manusia memiliki berbagai macam hasrat dan nafsu keinginan, dan mereka boleh berlatih semua yang semestinya mereka latih atau cukup sebagian saja darinya. Tetapi seseorang yang memiliki kemampuan lebih namun tidak dapat mengendalikan dirinya, kurang memiliki kualitas hati,rasa-syukur dan bakti, adalah orang yang patut dikasihani. (Maklumat Batu ke 7).

Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, Raja Piyadasi, menghargai baik para pertapa maupun perumahtangga segala agama, dan Beliau memberi penghargaan kepada mereka dengan hadiah dan bentuk-bentuk penghargaan lainnya. Tetapi Yang-dicintai oleh para Dewa, Raja Piyadasi, tidak menghargai hadiah-hadiah dan penghormatan sebagaimana Beliau menghargai hal ini – bahwa musti ada tumbuh kembangnya esensi pokok ajaran setiap agama. Penumbuhkembangan esensi ajaran dapat dilakukan dengan beragam cara, tetapi semuanya pasti berakar pada terkendalinya ucapan, yakni: jangan membanggakan agamanya sendiri, jangan mencela ajaran agama orang lain tanpa alasan yang jelas. Dan jika memang ada alasan untuk mengkritik, haruslah dilakukan secara lembut. Tetapi tetap saja lebih baik untuk menghargai ajaran agama lain oleh karena alasan tadi. Dengan melakukan hal ini, akan memberi keuntungan bagi agama orang itu sendiri dan begitu pula bagi ajaran agama orang lain, dan berbuat yang sebaliknya bakal merugikan agama orang itu dan agama orang lainnya. Siapapun yang membanggakan ajaran agamanya sendiri, oleh karena keyakinan yang fanatik, dan menghina yang lain dengan pemikiran ‘Saya mengagungkan agama saya’, hanya akan merugikan agamanya sendiri. Oleh karenanya adanya kontak (antar umat beragama) adalah baik. Seseorang sepatutnya mendengarkan dan menghormati ajaran yang disampaikan oleh orang lain. Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, Raja Piyadasi, menginginkan agar semua orang mesti mempelajari dengan benar ajaran yang baik dari agama orang lain.

Mereka yang puas dengan ajaran agamanya sendiri mesti diberi tahu bahwa: Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, Raja Piyadasi, tidak menghargai hadiah-hadiah dan penghormatan sebagaimana Beliau menghargai hal bahwa mesti ada tumbuh kembang di dalam hal-hal yang esensial dari setiap agama. Dan demi tujuan ini banyak yang terus bekerja – Dhamma Mahamatra, Mahamatra yang bertugas di ruang keputren, pejabat yang bertugas di daerah pinggiran, dan petugas-petugas lainnya. Dan buah daripadanya adalah ajaran agama seseorang dapat berkembang dan begitu pula Dhamma pun juga akan tersinari. (Maklumat Batu ke 12).

Dari maklumat Raja Ashoka tersebut, kita yang hidup pada jaman modern seperti saat ini dapat mengembangkan konsep toleransi yang dicetuskan Raja Ashoka. Kita sudah seharusnya menghindari menghambat tumbuh kembang setiap agama, tidak mencelanya, namun sebaliknya dengan mendukung perkembangan agama lain dan menghargai agama lain seperti menghargai agama sendiri. Dengan cara itu, kita bisa hidup berdampingan dalam suasana rukun dan damai.

 

 

Tulisan terkait Kitab Karya Acarya Canakya

Tulisan sebelumnya Hutang Orang Tua Meninggal Wajib Dibayar Anak Cucu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun