Mohon tunggu...
Merly Erlina
Merly Erlina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Saya seorang dosen dan praktisi psikologi di RS di Kota Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kreativitas: Tantangan Pendidikan di Indonesia

17 Agustus 2022   12:30 Diperbarui: 17 Agustus 2022   12:32 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kurikulum kita sibuk mengurusi capaian-capaian portofolio dan lebih mementingkan pengetahuan (kognitif). Kurikulum 2013, meski sedikit menggeser orientasi belajar ke arah proses, tetap tidak menyentuh apalagi mengembangkan kreativitas dan inovasi. Kurikulum itu ternyata berdampak pada cara mengajar guru. Karena dituntut menuntaskan hasil belajar, guru pun menjadi mekanistis; ambil jadi, apa adanya dan miskin ide-ide yang menggugah imajinasi anak didik. Dapat dibayangkan kreativitas anak Indonesia manakala mereka tidak mendapatkan ruang gerak melahirkan ide kreatif baik di sekolah maupun lingkungan sosial. Ketika sistem pendidikan kita memangkas dan memacetkan kreativitas, bangsa ini menjadi sekumpulan manusia yang kering; dalam imajinasi, pemahaman hidup, ide, dan kreativitasnya.

Ruang imajinasi Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara dengan GCI tertinggi, menempatkan imajinasi begitu penting. Jepang lewat Cool Japan, misalnya, sukses mengombinasikan talenta imajinasi dengan kekayaan kulturalnya sehingga selain kreativitas anak didik terpupuk dan terasah, mereka tidak tercerabut dari naungan budaya luhur lokal yang turun-temurun. Demikian juga Korea Selatan lewat Korean Wave, memberikan ruang imajinasi yang seluas-luasnya yang diawali dari ruang-ruang kelas pengajaran.

Keberhasilan sebuah pendidikan di sekolah bukan hanya dimulai dari kebijakan, pemerataan, dan sistem yang sudah terintegrasi semata melainkan juga adalah kolaborasi dari elemen-elemen penting di dalam sekolah tersebut. Kolaborasi yang dimaksud meliputi peran dan kekuatan kepala sekolah dalam menciptakan iklim sekolah yang baik, guru sebagai pendidik sekaligus pengajar yang menjadi ujung tombak terciptanya generasi muda yang berkualitas, serta siswa sebagai subjek pendidikan yang akan berperan sebagai pemimpin dan generasi penerus di masa depan (Ramdani, 2018). Salah satu aspek yang dianggap penting dan menjadi karakteristik yang sudah seharusnya ada dalam diri elemen-elemen tersebut adalah kreativitas. Berdasarkan hasil studi sebelumnya, bahwa aspek kreativitas adalah aspek yang berperan tidak hanya menjadikan pendidikan itu lebih menarik, tetapi juga menjadi indikator bahwa setiap individu di dalamnya itu aktif dan mampu mengembangkan potensi terbaiknya yang kemudian ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di masa depan (Ramdani, 2018).

Pada kenyataannya aspek kreativitas ini menjadi salah satu karakteristik yang belum sepenuhnya dibangun dalam dunia pendidikan. Studi yang dilakukan terhadap mahasiswa berprestasi menunjukkan bahwa aspek ini jauh belum banyak diperhatikan oleh mahasiswa terutama di dalam aktivitas akademik mereka (Ramdani & Fahmi, 2014). Tidak hanya pada siswa, rendahnya karakteristik dari kreativitas ini juga terjadi pada guru yang mengajar di sekolah yang  ditunjukkan dengan skor paling rendah pada skala Values in Action Inventory Scales (VIA-IS) dibandingkan karakteristik lainnya seperti keterbukaan pikiran dan kecintaan terhadap belajar (Ramdani, 2018).

Oleh karena itu, pengembangan kreativitas dalam dunia pendidikan (pembelajaran kreatif, sekolah kreatif, guru kreatif, pimpinan sekolah kreatif, dan murid kreatif serta lingkungan yang kondusif terhadap penumbuhan kreatifitas)  penting mengingat dunia pendidikan kita masih dihadapkan kepada persoalan mendasar, misalnya  pemerataan mutu  hasil pembelajaran, mutu pembelajaran, akses pendidikan bermutu bagi  seluruh warga bangsa, kompetensi guru, dan sumber pendidikan serta keadaan geografis. Kemampuan mengubah persoalan atau keterbatasan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat kelas (pembelajaran) pada satuan pendidikan akan menjadi energi dan pendorong bagi pengembangan potensi kreatif (aktual) di kalangan masyarakat sekolah dan merupakan bagian penting dalam menyiapkan warga bangsa menghadapi tantangan global.

Dalam upaya menjawab tantangan permasalahan kreativitas bangsa harus melalui pendekatan secara makro dan mikro. Selain itu tentunya permasalahan kreativitas bangsa tidak bisa diselesaikan oleh salah satu elemen bangsa saja. Melainkan seluruh elemen bangsa harus berkontribusi agar kreativitas bangsa dapat tercapai. Secara malro, salah satu model yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan kreativitas bangsa adalah konsep Quadruple Helix.

Konsep Quadruple Helix merupakan pengembangan konsep triple helix dengan mengintegrasikan peran akademisi, pengusaha, pemerintah dan masyarakat (civil society) ke dalam aktivitas kreatifitas dan pengetahuan (Oscar, 2010).. Carayannis dan Campbell (2009) menyatakan pentingnya kebijakan dan praktik pemerintah, universitas dan industri serta masyarakat  saling berinteraksi secara cerdas, efektif dan efisien. Dewi (2009) menjelaskan bahwa dukungan kerja sama dan interaksi antara akademisi (universitas), pebisnis, pemerintah dan masyarakat merupakan penggerak lahirnya kreativitas, ide, dan pengetahuan. Ditegaskan oleh Etzkowitz (2008) bahwa konsep triple helix yang disempurnakan menjadi Quadruple Helix akan dapat melahirkan kreativitas baru, ide dan ketrampilan serta pengetahuan baru.

Penelitian tentang pengaruh dukungan pemerintah, universitas dalam transfer kreativitas telah dilakukan oleh Xiaobo (2013), Ranga & Etzkowitz (2013) juga menjelaskan kreativitas lahir melalui keterlibatan intelektual (university), business, masyarakat dan  pemerintah yang memberikan regulasi yang mendukung terciptanya atmosfer tumbuhnya perilaku kreatif dan inovatif pada pelaku usaha. Peran universitas sebagai pendukung tumbuhnya kreativitas sangat memegang peran penting (Etzkowitz, 2008) karena akademisi memainkan peran penting dalam pengembangan kreativitas dan inovasi dan melakukan transfer pengetahuan kepada pelaku bisnis dalam industri kreatif. Perubahan sosial tidak bisa dilakukan sendirian. Mengubah keadaaan harus dilakukan bersama-sama dengan banyak pihak. Hanya kolaborasi yang memungkinkan suatu masyarakat untuk dapat terus maju dan berkembang.

Model kerjasama antar banyak pihak salah satunya adalah Penta-Helix. Kolaborasi dalam konsep Penta-Helix merupakan kegiatan kerjasama antar bidang dan pihak dari Academic, Business, Community, Government, dan Media atau dikenal sebagai ABCGM. Model kerjasama Penta-Helix tersebut bertujuan untuk melakukan optimasi peran dari unsur Akademisi, Bisnis, Komunitas, Pemerintah, dan Media sebagai pendorong perubahan sosial termasuk kreativitas masyarakat yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

Akademisi

Akademisi dapat berperan sebagai konseptor. Seperti misalnya melakukan penelitian dengan tujuan untuk membantu mengembangkan kreativitas baik anak didik maupun masyarakat luas. Dalam hal ini, akademisi merupakan sumber pengetahuan dari pengembangan kreativitas mencakup konsep-konsep, teori-teori, dan model-model pengembangan terbaru serta relevan dengan kondisi dan peluang yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun