Mohon tunggu...
Merkyana Nancy Sitorus
Merkyana Nancy Sitorus Mohon Tunggu... Administrasi - Pejalan Pemerhati

Pejalan dan pemerhati apapun yang menarik mata dan telinga. Menyalurkan hobby jalan melalui www.fb.com/gerakpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hal Kecil yang Dibesar-besarkan

23 Januari 2020   17:41 Diperbarui: 23 Januari 2020   22:20 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barusan aku melihat langit biru. Tampaknya hujan deras dini hari tadi benar-benar menguras langit. Segaris senyum kuukir halus di sudut bibirku. Padahal gemuruh petir berkali membuatku terbangun dan mengingatkanku kalau pelukanmu telah absen dari malam-malamku selama sepekan ini. Bukan karena kau tak ada di sisiku. Aku masih bisa mendengar dengkuranmu di separuh ranjangku.

"Kau tahu? Sekarang kantorku menggunakan jasa pembunuh hama. Tikus-tikus itu semakin mengganggu. Semua dokumen dikencinginya," omelku minggu lalu sambil menyiapkan makan malam kita.

"Semua? Yakin semua?" katamu tanpa melepaskan pandangmu dari smartphonemu.

"Ya, ga semua sih, cuma ya  kesal ajalah! Itu tuh dokumen penting. Kalau lagi audit aku mesti tetap pakai dokumen itu. Kalau kain sih bisa kita laundry, lah ini kertas, dikeringkan kayak apa juga tetep aja masih tinggal aroma ga enaknya," keluhku.

"Tetep aja ga berarti kamu langsung bilang semua, dong, sebagian aja," timpalmu, masih tetap fokus pada smartphonemu.

Aku melangkah mendekatimu. Asik sekali dengan permainan dalam smartphonemu.

"Makanan sudah siap, makan yuk!" ajakku.

"Duluan saja, tanggung, ini masih war," katamu lembut, tanpa sama sekali memandangku.

Aku masih belum terlalu lapar. Yasudahlah, kuraih smartphoneku, kubuka salah satu aplikasi permainan di dalamnya. Berdua kita bermain dan berkutat dengan smartphone masing-masing. Mengabaikan makanan yang aku hidangkan di atas meja.

Sejam, dua jam, tiga jam kemudian jatah bermainku habis. Harus menunggu beberapa saat sampai aku baru bisa bermain lagi. Kulihat kau masih asik bermain.

"Peluk," manjaku. Kau mengangkat tangan kirimu, aku menyurukkan kepalaku dan rebah di pangkuanmu. Tangan kirimu bersandar di badanku dan kembali memegang smartphone dan melanjutkan permainanmu.

Tak terlihat tanda-tanda kau akan mengakhiri kegiatanmu. Katamu sejak tadi setelah sesi ini, entah sesi yang mana.

Sedikit kesal, mungkin ditambah rasa kantuk aku menghela tubuhku menjauh darimu. Tidur lebih dulu.

Itu seminggu yang lalu. Aku mendiamkanmu. Menekan kerinduanku pada sentuhan dan pelukanmu. Hatiku menuntut waktumu untukku, sayang. Kupikir, rasa rindu ini juga milikmu, sehingga kau akan berbalik bermanja padaku, agar aku bisa sedikit membalaskan rasa terabaikan yang kurasakan minggu lalu. Tapi ternyata tidak. Kau pun diam atas diamku.

Sayang, tak tahukah kau? Kepalaku menjadi racun untuk tubuhku. Kini, setiap pagi setiap aku bercermin aku bertanya-tanya, apakah aku tidak cantik lagi di matamu? Apakah pelukku sudah kaurasa dingin?

Kau masih disampingku, tapi aku kesepian.

Seminggu ini, langit mendung, baru hari ini terlihat biru. Sayang, bolehkah aku tak pulang malam ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun