Mohon tunggu...
Indah Shofiatin
Indah Shofiatin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas, Alumnus FKM Unair

Hidup hari ini, menang di hari nanti.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Toleransi Tinggal Slogan

16 Desember 2017   08:45 Diperbarui: 16 Desember 2017   09:37 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jagat maya dibuat geger beberapa waktu lalu. Biang kegegeran, Ustaz Abdul Somad dipersekusi oleh suatu kelompok di Bali. Alasan pihak yang bahkan mendatangi hotel Aston --tempat menginap dai yang kondang lewat dunia maya tersebut-- dengan membawa senjata tajam disertai sumpah-serapah selama proses persekusi. Tidak hanya sekali ini kejadian menggegerkan yang menimpa tokoh umat Islam terjadi. Bulan November lalu, dai muda lain juga dipersekusi. 

Adalah Ustaz Felix Siauw, dai keturunan Cina yang mengalami persekusi serupa di Masjid Manarul Ilmi, Bangil. Belum lagi sederetan kasus persekusi yang menimpa tokoh Islam yang lain. Apa alasan pihak yang melakukan tindakan ini? Mengancam toleransi! Berbahaya bagi NKRI! Menentang Pancasila! Slogan yang sama selalu dirapal dalam setiap aksi pihak serupa ini dalam mempersekusi dakwah para ulama kaum muslimin. Benarkah tuduhan mereka?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi bermakna sikap toleran, yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam bahasa Al-Qur'an, sikap semisal ini diambil dari 'lakum dinukum wa liyadin' dalam Surat Al-Kafirun, yaitu 'bagimu agamamu dan bagiku agamaku'. 

Fair, saling menghormati, tidak mengganggu hak orang lain dalam beragama dan memiliki pendapat, asalkan dalam koridor yang tidak melampaui batas yang diperbolehkan Sang Pencipta manusia. Berbeda itu alamiah, bahkan para ulama besar zaman awal seperti Imam Syafii dan gurunya Imam Malik juga memiliki perbedaan pendapat, namun mereka saling menghormati dan menghargai pendapat Islami masing-masing, selama masih digali dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. 

Pun berbeda agama. Tidak pernah ada sejarah umat Islam yang memaksakan kaum lain masuk ke dalam Islam secara paksa. Di Al-Quds (Yerusalem), saat Umar Bin Khatthab ra. membuka gerbangnya dengan membawa Islam, beliau menjamin kaum Yahudi, Nasrani dan Islam  dapat hidup berdampingan dengan damai dan saling menghormati. Sejarah kaum muslimin diwarnai dengan apa yang disebut toleransi hari ini secara gemilang dan indah. Lalu, apakah kejadian persekusi itu benar digelar atas nama toleransi?

Sungguh naif bila bangsa yang besar ini bahkan melupakan definisi toleransi dalam kamus bahasanya sendiri sebelum menggembar-gemborkan dirinya paling toleran namun ternyata malah anti-toleran. Apalagi bila itu dilakukan oleh umat Islam. Lupakah pada kandungan Al-Qur'an, sejarah Nabi dan para Sahabat saat membubarkan pengajian pihak yang tidak sesuai dengan pendapat golongannya semacam itu? 

Sungguh, baik sebagai warga Indonesia yang menjadikan KBBI sebagai rujukan bahasa dan Al-Qur'an sebagai rujukan bersikap setiap muslim, kita umat Islam dan warga Indonesia umumnya harusnya merasa malu dan sedih atas klaim toleransi ala pihak gemar persekusi ini. Mengaku paling toleran, namun tidak sinkron dengan pilihan tindakan yang tidak menghargai dan membolehkan pihak lain untuk memiliki pendapat atau menyampaikan ide yang tidak sesuai dengan pendiriannya sendiri. Apakah ini yang disebut toleransi?

Di sisi lain, pengakuan mereka sebagai pihak yang paling cinta NKRI dan paling Pancasilais pun patut dievaluasi. Bila cinta pada NKRI, mengapa ramai dan gemar sekali menimbulkan perpecahan? Mengapa tidak sibuk menjaga keutuhan negeri ini dan gemar mencari jalan keluar dari krisis dan permasalahan yang menumpuk bagai gunung di negeri tercinta kita? Tempat lahir dan dibesarkan, diperjuangkan oleh para pahlawan, yang hari ini masih berduka karena setiap sendinya dihinggapi masalah: ekonomi masih krisis, politik jadi permainan, sosial timpang dan cacat, keamanan terancam jadi masalah semua orang, bahkan negara pun sedang dirongrong disintegrasi yang hampir merata di semua wilayah tepi Indonesia. Bila masalah begitu banyak, bukankah kecintaan pada NKRI akan membuat kita sibuk mencari solusi dan berusaha untuk menyelamatkan negeri ini? 

Berbeda cara penyelamatan dan solusi masih wajar, namun cinta tak akan membuat kita sibuk menyalahkan pihak yang justru sedang berpikir, berbicara, dan beraktifitas mengupayakan keselamatan ibu pertiwinya. Bukankah ini wujud cinta? Tidak hanya jadi slogan, tapi terlihat nyata dalam usaha. Begitu pula Pancasila. Tidak ada satupun sila yang mendorong mereka para peneriak slogan untuk bertindak intoleran atas nama toleransi dan justru memecah belah. 

Mulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa sampai Keadilan Sosial, slogan yang mereka dengungkan bahkan menolak perilaku mereka yang kasar, memecah, tidak menghormati perbedaan, merasa paling benar dan berhak menghakimi, serta menuding pihak lain berbahaya tanpa bukti. Izinkan saya menyebut slogan mereka sebagai pepesan kosong, atau khayalan berbahaya yang menimbulkan perpecahan dalam negeri.

Sangat disayangkan peran pemerintah kita tak terlihat dalam menyikapi masalah anti toleran ini. Bila hal ini terus dibiarkan, tak bisa dipungkiri benih permusuhan akan menganga. Apalagi bila pihak tanpa bukti semakin rajin menuduh dan mengusir, sangat mengkhawatirkan respon umat Islam yang merasa panutan dan ulamanya dipersekusi akan membesar seperti bola salju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun