Mohon tunggu...
Nurlita Wijayanti
Nurlita Wijayanti Mohon Tunggu... Penulis - Menurlita

Lulusan Psikologi yang antusias pada isu kesehatan mental. Wordpress: https://sudutruangruang.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bicara tentang Dua Puluh Tujuh Tahun

13 Januari 2023   23:03 Diperbarui: 13 Januari 2023   23:16 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ga inget, apakah dulu aku termasuk anak yang mendambakan kedewasaan agar lekas merasakan kebebasan?

Terkadang, sekelibat pikiranku berandai-andai, coba saja waktu itu ada yang memberitahuku bahwa menjadi dewasa itu tidak mudah, tapi pasti bisa aku lalui. 

Terkadang juga, sekelibat pikiranku melayang, apakah diri ini tak pantas untuk dicintai oleh orang asing? Orang asing yang kemudian dengan ikhlas menerimaku dan percaya, bahwa aku lah belahan jiwanya. Terakhir aku jatuh cinta, kemudian aku dijatuhkan dengan imajinasiku sendiri, "cinta sepihak."

Dan akhir-akhir ini, kedua pikiran itu berkolaborasi, dan muncul sekilas tentang pernyataan,  mungkin inilah momentum yang tepat untuk aku lebih mengenal diriku sendiri, mencintai tanpa berharap banyak, mencintai dengan penerimaan yang utuh, hingga jika tiba masa aku terpaksa sendirian, aku cukup berdiri dengan Tuhanku saja. 

---

Dua puluh lima tahun, adalah masa krisis mental pertama di usia dewasa (semoga yang terakhir juga). Sebagai seorang perempuan yang punya beberapa mimpi, namun tidak seluruhnya berjalan sesuai dengan harapan. Di masa itu, aku sempat merasa tidak berguna, padahal aku sempat meninggalkan karya, yang meskipun tak semua orang tau, dan aplikasi itu sekarang sudah hilang. Ya, tak berbekas. Sayang ya?

Dua puluh enam aku mulai menemukan kesenangan batin, karena aku menemukan konsep "jodoh" yang agak lain, pekerjaan pertama yang ajaib. Jika dulu masa SMA adalah masa penemuan jati diriku,  maka dua puluh enam tahun adalah masa aku menemukan bakat yang selama ini terpendam. Rasanya seperti Tuhan menunjukkan kekuatan superku, yang masih perlu kontrol agar tidak terjerumus ke lubang jebakan. 

Dan menjelang dua puluh tujuh tahun, sejujurnya aku merasa takut akan beberapa hal. Di satu sisi, aku cukup terbiasa bertemu dengan emosi negatif seperti rasa takut. Selain karena sejak kecil aku dipaksa untuk melawan rasa takut, aku juga merasa di usia ini sudah tak sepantasnya menyerah dengan emosi itu. 

Konsep itu sekilas konyol, karena mungkin jarang sekali ada manusia riil melawan emosi negatif dengan mudah. Untuk saat ini, emosi negatif yang sedang kubela adalah perasaan sedih. Kenapa?

Alasan pertama sederhana, karena kita bisa menemukan lawan kata sedih dengan mudah, yaitu? Senang. Meskipun ga yang mudah banget ya untuk menemukan kesenangan batin yang hakiki, setidaknya menyederhanakan emosi di pikiran, cukup membantu kita buat tetap fight dengan problematika kita sebagai orang dewasa. 

Kadang aku merasa ingin menangis tapi tidak keluar. Tidak kubawa tidur, tapi kucoba untuk mengeluarkannya. Sedih? Cobalah untuk menangis. Mudah, kan? Kalau tidak bisa menangis, simple, "mungkin kamu hanya lelah." 

---

Satu hal yang kusyukuri dari diriku sendiri, aku tidak pernah menganggap kesedihan dan tangisan sebagai kelemahan. Justru itu seperti metode mengeluarkan racun dari tubuh, dan jantung, dari otak. Ya, aku tidak bicara tentang sains, pure sharing perspektif saja. 

---

Jujur, aku kadang merasa ditolak saat mengetahui orang terdekatku melarang untuk menangis, karena menurutnya itu tanda kelemahan. It's okay. Mereka juga berhak untuk mengekspresikan perspektifnya. 

Ada juga yang menerima ekspresi sedihku dengan mendiamkanku dalam pengetahuannya tentang masalah yang kuhadapi. Ada juga yang berusaha beri dukungan moril bahwa "ya, kamu boleh menangis." 

Di menjelang usia dua puluh tujuh tahun, aku semakin menyadari, bahwa orang dewasa juga memiliki kesedihan yang mungkin ga mereka sadari, "aku harus kuat, apapun yang terjadi." Itu sulit, tapi harus dilakukan. Dan apakah aku bisa melakukannya juga tanpa terluka?

Mulai dari sana, aku jadi bertanya kembali, "apakah aku jadi semakin takut untuk menikah? Apakah nantinya aku bisa kuat saat menjadi orang tua? Apakah nantinya aku bisa mengasuh anakku dengan baik? Apakah rasa tanggung jawabku sudah cukup untuk mengambil peran yang lebih tinggi? Sampai sini aku berkesimpulan, bagian paling menakutkan menjadi dewasa adalah soal "mampu bertanggung jawab," dalam hal apapun. Pertanyaanku pribadi, tapi menusuk tajam ke hatiku sendiri.

---

Di menjelang dua puluh tujuh tahun, aku mencoba memahami, "akan ada banyak sekali hal baru di hadapanku nanti." Jika aku diberi umur panjang, tidak ada kesimpulan final, melainkan hipotesa dan pembuktian yang bersiklus. Pastikan setiap siklusnya ada pembelajaran, makna, dan evaluasi yang dilandasi dengan keberanian untuk jujur.

---

Sumber gambar : https://unsplash.com/photos/HKZPcz4Jpm8?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun