tulisan jadi alat komunikasi di dunia yang membatasi kita untuk bertemu tatap muka, kita jadi lebih sering menanamkan kesan pada apa yang ditulisnya.
KetikaDengan tulisan juga, kita terbatasi untuk saling melihat ekspresi satu sama lain, apakah ia benar-benar senang bertemu dengan kita atau kata-kata sopan yang kita terima hanyalah formalitas? Satu atau dua kali akan jadi hal yang biasa, tapi bagaimana jika terlalu sering? Seakan menjadi aturan tidak tertulis dalam dunia maya.Â
Iya, namanya dunia maya, dunia yang semu, yang kita tidak tau pasti dengan siapa sesungguhnya kita bicara, berkirim pesan atau chatting. Jika beruntung dan mungkin sudah takdir, kita akan bertemu dengan seseorang yang betulan baik dalam segala aspek, tulisan dianggap tidak bohong dalam merepresentasikan karakter, sifat, dan kelemahlembutannya. Ya, jika kita beruntung dan kalau memang sudah takdir.Â
Aku akan selipkan sedikit cerita seperti ini:
Pernah aku baca bio seorang kenalan di sebuah platform media sosial. Intinya, dia mengingatkan agar jangan menafsirkan dirinya hanya dari semua tulisannya. Pas aku lihat satu per satu posting-an dia, ternyata beneran bagus-bagus, islami, bahasanya ringan, dan nampol alias langsung ngena di hati.Â
Ku lihatlah di bagian komentarnya. Benar saja, memang banyak sekali yang memuji, berekspresi, dan mungkin si pemilik akun media sosial itu pernah dapat komentar bahwa dia adalah muslimah yang baik dan lembut hatinya, padahal mungkin belum pernah bertemu secara langsung, belum pernah tau karakter aslinya gimana. Aku cuma batin, "hmm, bisa gitu ya?"Â
Makin ke sini, aku juga dapat respon yang mirip, walaupun tidak sebanyak orang tadi. Aku dapat komentar lewat pesan pribadi, "Kakak kerenn, inspiratif."Â
Di satu waktu yang sama aku justru merasa aneh, "Memang aku begitu ya? Kayaknya aku banyak posting tulisan galau daripada inspirasi-inspirasi."
Dari sini juga, aku ngambil kesimpulan sementara kalau kesan atau pun komentar itu bisa terbentuk dari standar-standar yang ditentukan masing-masing orang. Dan tulisan bukan lagi jadi alat komunikasi semata, tetapi representasi diri kita di dunia ini.Â
Aku pribadi lebih suka membagikan cerita, meski bernuansa galau, namun tetap harus diimbangi dengan perspektif yang bertentangan. Jadi, aku bisa ekspresikan rasa sedihku misalnya, atau sakit karena patah hati, tapi aku usahain buat membagikan hasil kontemplasi setelahnya.Â
Bagiku, itu sesuatu yang riskan, dan mungkin memang cuma satu atau dua orang yang akan menikmatinya, bahkan sampai inspiratif? Who knows? Dia tidak memahami saja bagaimana dinamika psikologiku saat aku nulis.Â