Mohon tunggu...
Nurlita Wijayanti
Nurlita Wijayanti Mohon Tunggu... Penulis - Menurlita

Lulusan Psikologi yang antusias pada isu kesehatan mental. Wordpress: https://sudutruangruang.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Anak Menuruni Sifat Orangtuanya

1 Juni 2019   10:27 Diperbarui: 2 Juni 2019   09:18 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Wes Hicks on Unsplash 

Apa yang kita tanam, itu lah yang kita tuai. Kalimat itu ga terdengar asing, kan? 

Apa yang kita lakukan cepat atau lambat pasti akan menunjukkan hasil, dalam konteks apapun. Asas ini sangat besar kemungkinannya untuk terjadi. Mungkin, ini yang namanya hukum alam berbicara, aksi dan reaksi alam, atau balasan setimpal atas apa yang sudah kita usahakan. 

Tapi, kalau di dalam hidup, itu tak melulu terjadi karena kesengajaan dan kesadaran kita, ada faktor genetik atau turunan, yang cukup minim kita elak garis takdirnya. 

Sekarang, kita coba masuk ke contoh. Pernah dengar istilah perfeksionis? Orang yang punya sifat ini cenderung menuntut dirinya untuk berlaku sempurna atau berusaha menekan kesalahan demi kesempurnaan tadi. 

Perfeksionis ini sebenarnya punya sisi baik, kita hanya perlu menyadari lebih cepat agar sifat itu ga begitu mengakar dalam diri. Saat kita menikah dan punya keturunan, bisa jadi sifat ini akan menurun. Ya, si anak bisa punya sifat perfeksionis tadi. 

Namanya juga anak, kita tahu bahwa perkembangannya juga berproses, seperti kita dulu. Kalau kita langsung nemu sifat perfeksionis tadi, kita jadi akan sadar kalau perfeksionis kita yang "too much" itu sangat menyebalkan buat orang lain, dan sebagai orangtua, kita akan khawatir akan itu, karena kadang perfeksionis jauh dari kata rasional. Right? 

Kita akan jadi menemukan kondisi bahwa ada yang ga beres dengan perfeksionis ini, bagai dua sisi mata pedang, ia punya sifatnya yang sangat bagus tapi juga sangat buruk kalau ga pandai-pandai mengontrolnya. 

Kita juga jadi paham, kalau kita sebagai orangtua harus mengarahkan si anak ini agar mampu menyeimbangkan sifat perfeksionisnya. Tapi kalau orangtuanya belum bisa handle dirinya sendiri, bagaimana ia bantu anaknya mengontrol perfeksionismenya? 

Itu lah pentingnya introspeksi diri sedari dini, minimal sejak ada sinyal bahwa perfeksionisme itu menjadi buruk. Bisa lah introspeksi dengan bicara dengan diri sendiri atau istilah kerennya self-talking. Cuma, mungkin self-talking ini agak awam dipraktikin karena butuh pembiasaan dan kepekaan yang cukup dan kesadaran untuk menyadari kondisi diri. 

Misal cara ini kurang mampu, bisa tanya-tanya ke teman atau kerabat terdekat, yang familiar dengan eksistensi diri kita. Karena ada juga lho orang yang ga sadar kalau dirinya terlalu logis, perfeksionis, berperasaan, atau lainnya. Jadi, kita bisa tanya kesan atau impresi mereka tentang diri kita selama ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun