Mohon tunggu...
Fransiskus Batlayeri
Fransiskus Batlayeri Mohon Tunggu... Lainnya - Batlayeri.jr

Seorang perantau yang lahir dan besar di mabilabol, komplek kecil di Tengah kota Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Stereotip Rasisme Mahasiswa Papua

13 Juni 2020   21:21 Diperbarui: 13 Juni 2020   21:53 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar, Dosen.Com

Kisah berikut merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh seorang mahasiswa magister dari Papua yang pernah kuliah di sebuah kampus di Jawa. Kisah ini merupakan satu dari sekian banyak cerita yang mewakili para pejuang sarjana di luar Papua.  

Rasisme ada di mana saja, dalam setiap ruang lingkup kehidupan selalu dijumpai rasisme dengan bentuk yang berbeda-beda.  Di Dunia Kerja, Tempat Pendidikan, sekolah-sekolah, kampus, bahkan dalam Tempat Ibadah pun terjadi praktek Rasisme ini. Setiap orang punya peluang untuk melakukan hal itu. Bahkan saya juga dapat melakukan hal itu baik secara sengaja atau tidak sengaja.

Masih segar dalam ingatan saya terhadap beberapa pengalaman rasisme yang saya alami waktu melanjutkan Studi di luar Papua.
Salah satu kisah ini,  terjadi  di dunia Kampus.
Saya sudah  empat kali kontrak mata kuliah yang diampu oleh Seorang  Dosen yang sama. (Dan saya tidak pernah mendapat nilai bagus, padahal saya yakin bisa mendapat nilai yang lebih baik dari itu).

Kebiasaan beliau (oknum dosen) saat proses perkuliahan adalah ia akan meminta setiap Mahasiswa untuk maju dan mengerjakan atau juga menjelaskan soal yang diberikan. Jurusan yang saya ambil ini dalam satu kelas  tidak pernah lebih dari 20 orang, dan saya yakin Seorang Dosen Pasti akan mengingat wajah dan Nama dari Setiap Mahasiswa yang Hadir.

Selama empat kali Saya Kontrak Mata Kuliah bersama Beliau, Saya tidak pernah sekalipun diberikan kesempatan  untuk maju menjawab soal atau menjelaskan materi.  Dalam beberapa kesempatan beliau juga sempat menyinggung daerah asal. Ada sebuah kejadian di mana semua mahasiswa sudah diminta maju. Dan beliau bertanya "Siapa yang belum maju?", teman yang tepat disamping saya mengatakan bahwa "Kaka  A (inisial)   yang belum maju Pak!" dua kali dia mengatakan begitu dengan lantang. Tetapi tidak ditanggapi.

 Yang dalam pikiran saya saat itu adalah "SEGOBLOK" apapun saya, saya pantas untuk dicoba dengan memberikan kesempatan kepada saya untuk maju ke depan dan mengerjakan soal, toh mereka yang maju juga ada yang cuma berdiri "babingung"  di depan dan tidak mengerjakan apa-apa, bahkan ada teman yang maju dan itu hasil kerja saya yang kemudian saya berikan  kepadanya untuk ditulis kembali ke papan"

Saya menyadari bahwa Otak saya pada saat itu sudah "panas", 'urat di kepala sudah tegang', saya  ini "otak tidak baik", "otak terlalu gila", "terlalu kasar", saya berdiri berarti : "Dosen saya masukkan  di bawah Meja". Timpah saya dalam hati.   Empat kali saya kontrak mata kuliah yang sama  selama empat semester, masa saya tidak pernah mendapat kesempatan walaupun hanya sekali saja?

Saya lalu coba menenangkan diri sendiri dengan mengatakan dalam diri saya: "ko datang jauh-jauh hanya untuk kuliah, datang untuk cari ilmu, jangan bikin masalah, ini orang punya Rumah"

Teman yang di samping saya itu sepertinya sudah takut. Anaknya cukup ramah dan sangat baik, pelan-pelan  dia lalu mengatakan kepada saya "kakak baik-baik saja kan?" jangan marah ya", "saya minta maaf atas kejadian itu, mungkin dosen tidak dengar".

Kejadian ini  selalu saya ingat dan jadikan pelajaran yang berharga dalam hidup saya.
Saya menyadari bahwa jika posisi saya kelak sebagai Dosen tersebut maka saya tegaskan untuk Jangan pernah kita melakukan hal yang sama.

Rasisme ini juga menyangkut Perilaku individu (pribadi), ada Pribadi yang Akhlaknya sangat rendah, juga ada pribadi yang rasa simpati (empatinya) itu sangat rendah atau bahkan hampir tidak ada sehingga peluang dia melakukan tindakan rasisme itu sangat besar, sama seperti kasus yang diceritakan di atas.

Dalam dunia kampus ada rasisme perilaku individu (oknum dosen), ada individu yg melakukan tindakan itu, tetapi ada juga yang memberikan dukungan, dan itu sangat banyak,termaksud Banyak dosen yang terus berikan dukungan bagi saya. Mereka luar biasa.
Terimaksih untk pelajaran berharga. Semoga Kita Bisa jadi Pribadi-pribadi  yang  membawa dampak positif dan tidak menjadi pelaku rasis.

Catatan Reflektif

Rasisme itu bermula dari stigmatisasi yang melekat pada individu. Individu itu memiliki pola pikir yang sudah terpolarisasi bahwa orang jenis ini, atau orang yang berasal dari daerah ini pasti tidak bisa,  emosian,  kasar, jelek, kotor, bau dan masih banyak lagi stigma yang dialamatkan untuk membedakan kemampuan satu manusia dengan yang lainnya. 

Pengalaman cerita diatas sedikit membeberkan realitas miris yang dihadapi oleh sebagian besar anak-anak Papua yang kuliah di luar daerah. 

Ada yang salah dengan keadaan negara saat ini. Subjektivisme selalu mendahului objektivisme. Hal ini tentunya didasarkan pada konsep yang sudah lama terpatri dalam otak individu tertentu.  

Superioritas budaya menjadi titik tolak rasisme itu berakar.  Sebut saja misalnya ada cuitan yang pernah beredar saat pilpres 2019 bahwa di Indonesia ini selamanya yang bisa jadi presiden adalah "orang Jawa yang beragama Islam". 

Cuitan ini tentunya lahir dari polarisasi superioritas budaya dan fanatisme agama yang menganggap diri sendiri  dan budaya sendiri lebih baik sedangkan di luar itu tidak.

Tentunya bukan hanya pengalaman demikian yang terjadi dalam kehidupan politik dan sosial di negara yang katanya "mencintai demokrasi ini" . Stigmatisasi dalam dunia pendidikan pun lebih parah. 

Ada konsep di negara ini yang sudah tersistematisasi bahwa anak-anak yang dari ujung timur itu pasti bodok, kotor,  bau dan jelek.  Hal ini tentunya menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap ras dari daerah ujung timur negeri ini. Dengan demikian perlakuan diskriminatif pun tidak luput dari mereka yang sedang mengenyam pendidikan di luar daerah.  

Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain)  pantas dialamatkan kepada mereka yang suka rasis,  diskriminatif dan terlalu fanatik dengan agama dan  budayanya.

Oknum-oknum dengan jenis pola pikir yang demikian pantas untuk dilihat kembali "otak kebinatangannya". Seperti oknum dosen dalam cerita di atas. Pendidik jenis demikian tentunya menjadi biang utama dalam mencentak generasi rasisme.  Mirisnya pendidikan di negeri ini dengan tindak tanduknya malah dihancurkan lagi dengan memupuk perlakuan rasis bagi generasi. 

Filsuf Voltaire mengatakan "pada dasarnya semua manusia itu sama yang membedakan itu bukan keturunan tetapi kebenaran dan kebaikkan".  

Mengedepankan humanisme diatas segalanya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Pengalaman di atas adalah realitas yang perlu disadari oleh kita semua. Sejauh mana saya memperlakukan sesama saya.  Memanusiakan manusia sebagai manusia bukan sebaliknya.   

Sejalan dengan itu Filsuf Levinas menegaskan "respondeo ergo sum (saya bertanggungjawab maka saya ada) " sebagai satu-satunya jalan manusia itu berada. 

Eksistensi manusia diwujudnyatakan dengan sejauh mana saya bertanggungjawab terhadap orang lain tanpa mengharapkan sesuatu. Tanggung jawab itu harus bersifat asimetris tanpa adanya resiprositas.  Dengan demikian hal ini jugalah yang harus mendasari dunia pendidikan di negeri ini. 

Pendidik itu bertanggungjawab memanusiakan manusia bukan memupuk bibit superioritas,  radikalisme,  diskriminasisme, fanatisme dan stereotipe bagi generasi penerus. Pendidikan adalah kewajiban setiap manusia untuk mengangkat serta menghargai hak dan martabat setiap manusia. Ingat dan camkanlah bahwa kemanusiaan harus selalu melampaui segala hal di atas muka bumi ini.

(Tulisan ini diterbitkan berdasarkan ijin dari penulis yang bersangkutan.  Sebelumnya sudah dimuat di laman facebook penulis).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun