Mohon tunggu...
Andayo Ahdar Notes
Andayo Ahdar Notes Mohon Tunggu... Freelancer - menulis, membaca satu paket untuk melihat bangsa

membaca dan menulis, semuanya penting. tuk menatap peradaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Kompas, Kutahu Kompasiana Sungguh...

23 Oktober 2020   00:28 Diperbarui: 23 Oktober 2020   02:59 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat tulisan kompas, pikiran menerawang melintas waktu.  Kompas adalah untuk pendeteksi arah mata angin yang menjadi ‘senjata ‘ kami dalam berpetulang di alam bebas dan praktek lapang pada perkuliahan Arkeologi di masa itu.

Selain itu Kompas, berarti Koran bacaan. Keakraban dengan kompas bermula dengan kebiasaan nongkrong di koridor seputaran Kopma (koperasi Mahasiswa) Unhas dan fakultas Teknik Unhas. Koran Kompas dikala itu dipajang dan diletakkan di sudut tangga. Di situlah beberapa Mahasiswa suntuk membaca Koran Kompas.

Namun tidak semua mahasiswa bisa leluasa membaca. Bila ingin baca silahkan beli. Lain halnya kami bisa dengan santainya membolak-balikkan halaman demi halaman Koran kompas. Berawal dengan membeli Koran ditempat tersebut hingga menjadikan tempat itu sebagai tempat nongkrong favorit kami.

Tius, Bang Kumis serta seorang  anak cleaning service, aduh namanya lupa. Merekalah yang menjadi kawan akrab kami di tempat itu. Mereka secara bergantian menjual Koran. Mereka adalah kawan ‘literasi’ kami dan diskusi dari  Koran yang kami baca, gelak tawa selalu menghiasi.

Flash back yang hanya bisa terbingkai dalam kenangan. Diera digital, media cetak mulai mengalihkan dirinya pada digital pula meski tetap hadir dalam cetak. Keganderungan dengan kompas membuat tekad untuk bisa tulisan kami juga hadir di kolom-kolomya. Karena tidaklah gampang untuk bisa tembus menulis di kolom kompas.

Pernah di tahun 2000, dengan tekad yang kuat mencoba mengirimkan tulisan berikut fotonya ke Kompas.  Jurnal Perjalanan dari penelusuran tentang Suku Wana di Morowali, Sulawesi Tengah. 8 hingga 10 lembar terkirimkan dengan harapan tulisannya bisa diterima dan dimuat berepisode, hmmm. Namun beberapa hari kemudian balasannya pun tiba.

Hati berdebar dan berharap cemas dan wow. Catatan penting yang oleh kompas. Berupa arahan menulis hingga, boleh tebak tulisannya tidak bisa dimuat. Namun kompas memberikan koreksinya. Meski begitu rasa puas dan bahagia karena kompas memberikan balasan berupa arahan untuk menulis yang baik.

Kegiatan tulis menulis beberapa saat terhenti hingga kembali terbesik untuk menulis kembali. Satu persatu tulisan dikumpulkan untuk dijadikan buku. Namun ‘ku menangis’. Tulisan itu rahib setelah computer yang didalamnya ada naskah tulisan ikut terformat. Wassalam

Setelah itu lebih banyak menjadi pembaca daripada menulis. Kompas pun dibaca melalui internet meski sesekali membaca versi cetaknya.  Hingga tertuju pada citizen journalism.KOMPASIANA ahhhh. Media inilah yang selalu menjadi lahap dibaca. Dan menjadikannya pelampiasan ide, kreatifitas yang berkesumat.

Kompasiana membalikkan hatiku untuk kembali menulis. Andai sejak sebelum tahun 2000 engkau hadir dan memberi peluang untuk menulis. Sungguh Kompasiana.

Makassar 11:22 PM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun