Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan hasil alam. Termasuk gulma tanaman (rumput) juga banyak sekali ditemukan di Indonesia. Petani Indonesia menyebut rumput sebagai gulma karena mengganggu tanaman pokoknya. Gulma mulai dari rumput yang berdaun kecil sampai pada tumbuhan yang berdaun lebar.
Bambu tergolong sebagai rumput raksasa. Pasti banyak yang belum tahu atau tidak menduga bahwa bambu adalah rumput. Padahal rumput tersebut sering kita jumpai setiap hari, tetapi kita belum tahu kalau tanaman tersebut masuk dalam kategori rumput.
Ada banyak jenis bambu berdasarkan klasifikasinya. Di Flores bagian barat (Daerah Manggarai) dikenal antara lain Betong, Pering, Gurung, To'e, Helung, Belang dan lain-lain.
Selama ini, petani di Indonesia, tepatnya di Nusa Tenggara Timur Kabupaten Manggarai Barat, memposisikan atau menganggap bambu-bambu tersebut sebagai hama tanaman karena tidak berguna atau menghambat pertumbuhan tanaman lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh kedudukannya yang sering menyebabkan tanaman lain tidak berbuah dan ada yang mati, Â sehingga sering kali ada temuan rumpun bambu di Kabupaten Manggarai Barat dibakar oleh pemilik lahan dan ada juga yang ditebang sampai habis agar tidak mengganggu tanaman-tanaman lain seperti cengkeh, kopi, coklat, dan sebagainya.
Padahal manfaat dari rumpun bambu cukup banyak untuk semua makhluk hidup yang ada di jagat raya ini baik untuk manusia maupun hewan lainnya. Manfaatnya bisa dari sisi ekologi, sosial (budaya) maupun ekonomi. Hanya karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum tahu untuk mengolah bambu menjadi bahan yang cukup banyak kegunaannya.
Ketidaktahuan ini menyebabkan orang membakar, menebang habis dan membuangnya. Andaikata orang sudah mengetahui nilai atau harganya maka mereka akan melindungi dan membudidayakan seperti halnya cengkeh, cokelat, kopi, fanili dan lain-lain.
Ketika survey dilakukan terhadap kelompok-kelompok masyarakat pembibit bambu di Kabupaten Manggarai Barat yang didampingi oleh Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) Manggarai Barat mengenai bambu yang tumbuh di sekitar kampung dan desa dampingan, ternyata rumpun-rumpun bambu tersebut ditanam oleh nenek moyang. Generasi milenial tidak menanam bambu sebelum ada ajakan dari YBLL untuk menanam bambu dalam arti konservasi air dan iklim. Karena itu pendampingan pada masyarakat ini sangat sulit dilakukan, namun setelah dijelaskan kegunaannya di masa depan setelah bambu tua, mereka baru mengerti itupun masih menjadi buah nada tanya karena benarkah bambu itu bisa dijual dan mendapatkan uang.
Di daerah Manggarai (Manggarai Barat, Manggarai & Manggarai Timur), rata-rata rumpun bambu tumbuh di kiri dan kanan sungai, daerah kemiringan yang cukup tajam dan di daerah mata air. Ketika ditilik dari lokasi tumbuhnya rumpun bambu tersebut, nenek moyang orang Manggarai memahami manfaat bambu dari segi ekologi. Kepandaian nenek moyang orang Manggarai lebih dimengerti bahwa penanaman bambu disepanjang sungai, tempat yang terjal dan jurang yang dalam akan mencegah longsor dan menyimpan air.
Tetua adat juga mengetahui bahwa bambu bagus ditanam di mata air karena dengan bambu mata air tidak pernah mati. Sayangnya, orang-orang muda tidak memahami hal itu dan menganggap bambu sebagai hama tanaman.
Tidak salah masyarakat menganggap bambu sebagai hama tanama karena memang SDM untuk menyulap bambu menjadi uang itu belum ada. Serta didukung oleh fakta yang terjadi di lapangan bahwa komoditi yang tumbuh di bawah atau berdampingan dengan rumpun bambu akan sulit tumbuh bahkan tidak berbuah sama sekali.
Pada pertengahan tahun 2021, sebuah kabar baik untuk masyarakat Flores NTT bahwa Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) bekerja sama dengan Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) untuk membudidayakan bambu di NTT khususnya di pulau Flores yang tersebar di 7 Kabupaten mulai dari Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende dan Sikka.