Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melepas Jilbab Bukan Berarti Menjadi Perempuan Hina

17 Maret 2020   18:11 Diperbarui: 17 Maret 2020   18:04 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from timeout.com

Sekitar dua bulan yang lalu, saya putuskan untuk melepas jilbab seutuhnya. Bertahun-tahun yang lalu, saya sudah memikirkan hal tersebut di dalam otak saya. Hanya saja saya baru punya keberanian untuk melakukannya dua bulan yang lalu.

Saya mulai berjilbab semenjak lulus SMK di tahun 2012, waktu itu saya berpikir semua orang mengenakan jilbab, masa saya enggak. Jadi murni saya melakukannya karena lingkungan dan budaya ikut-ikutan. Lama-kelamaan saya mulai terbiasa memakai jilbab saat bekerja sampai keluar rumah.

Satu hal yang pasti, saya tidak pernah seutuhnya memakai jilbab dengan benar, dalam artian saya tidak memakainya di dalam rumah yang mana di sana ada kakak ipar saya karena orang islam akan bilang kami bukan muhrim. Waktu saya ngekos dan bekerja di Bekasi, saya juga sering keluar beli makan tanpa jilbab.

Semenjak saya tinggal bersama kakak saya dan kakak ipar saya beserta keponakan, kakak saya yang sangat religius, dan 100% menutup aurat sangat sensitif kalau saya keluar rumah tanpa jiblab atau kerudung.

Padahal saya hanya menjemur pakaian di luar saja. Untuk menghormati dia, saya pun selalu keluar dengan kerudung, sekalipun hanya untuk menjemur atau menyapu teras.

Lama kelamaan saya lelah, karena tidak efisien, tiap kali mau keluar harus memasang kerudung di kepala. Terkadang saya sering kelupaan melakukannya dan diam-diam keluar tanpa kerudung tanpa sepengetahuan kakak saya.

Saya berpikir, saya tidak pernah berniat untuk berjilbab secara utuh seperti kakak saya. Lagipula saya selalu mengenakan pakaian panjang di rumah. Saya rasa tidak masalah jika saya keluar tanpa jilbab.

Dalam hal ini saya kadang kesal dengan kakak saya yang menurut saya agak berlebihan menyikapi kereligiusannya.

Tapi saya maklum, pada dasarnya dia hanya memberikan contoh yang baik sebagai perempuan religius yang berjilbab utuh.

Setelah lulus kuliah di tahun 2019, pikiran tentang jilbab makin merasuki otak saya dengan hebat. Benarkah saya masih ingin berjilbab? Benarkah ini yang hati saya inginkan? saya mulai lelah, saya seperti hidup dengan pilihan orang lain dan bukan pilihan saya sendiri. Saya merasa ada yang keliru.

Saya mulai berpikir untuk benar-benar melepas jilbab. Saya sadar saya tidak pernah sepenuhnya berjilbab atas dasar keinginan murni hati saya. Saya sadar, saya hanya mengikuti orang lain dan lingkungan. Dan saya mulai lelah.

Di Indonesia, perempuan berjilbab akan sangat diapresiasi. Stereotip mengatakan bahwa perempuan berjilbab akan terhindar dari tindak kejahatan lelaki. Melindungi diri dari godaan laki-laki di luar sana. Berimage religius dan itu bagus.

Saya sadar, stereotip itu tidak benar, dan saya sudah termakan itu selama 8 tahun lamanya. Saya sudah makin dewasa, saya harus berani mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup saya dan berhenti untuk mencemaskan apa yang akan orang lain pikirkan tentang pilihan saya. Kalau saya terus-terusan memikirkan apa kata orang, saya jamin saya akan gila.

Saya merasa ini yang terbaik. Dengan tidak berjilbab, saya tetap merasa menjadi manusia baik dan normal. Dengan melepas jilbab, saya tidak seketika menjadi psikopat, pelacur, penjahat, atau perempuan hina yang pantas di cela. Saya tetap memakai pakaian yang sopan dan tertutup demi kenyamanan.

Jadi semua kembali lagi ke niat hati kita masing-masing. Dulu saya belum cukup dewasa untuk memahami tentang semua ini. Saya merasa lebih nyaman dengan tidak berjilbab, harus saya akui itu. Saya lebih menjadi diri saya sendiri dan itu PENTING.

Jadi berhentilah menghakimi pilihan orang lain dan saling menghargai saja, itu jauh lebih baik.

Just be yourself and listen to your heart.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun