Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Rasisme Model Baru Melalui Novel "Dear Martin"

5 Desember 2019   19:22 Diperbarui: 5 Desember 2019   19:45 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.goodreads.com/book/photo/24974996-dear-martin

Novel debut penulis Afrika-Amerika bernama Nic Stone ini telah menjadi novel best-seller dan sering disejajarkan dengan novel "The Hate U Give" karya Angie Thomas. Secara garis besar kedua novel ini memang mengkritisi tindak rasisme para penegak hukum terhadap para remaja Afrika-Amerika di Amerika Serikat moderen. 

Dear Martin sendiri berfokus pada pengalaman seorang remaja kulit hitam bernama Justyce McAllister yang dihadapkan pada perilaku rasis polisi kulit putih yang menghakimi dirinya sebagai pelaku tindak kejahatan hanya berdasarkan ras, warna kulit, dan atribut atau pakaian yang dia pakai bukan dari bukti tindak kejahatan yang dia perbuat. Di Amerika, Insiden seperti ini biasa disebut dengan istilah Racial Profiling. 

Racial Profiling sendiri mengacu pada perilaku para polisi dan para penegak hukum lainnya yang cenderung menargetkan orang keturuan Afrika-Amerika dan Latin di jalanan kota-kota besar di Amerika sebagai pelaku tindak kejahatan seperti pengedar narkoba, pencurian, perampokan, pelaku pelecehan seksual, dsb. 

Jika kita mau menelisik lebih jauh ke sejarah masa lalu mereka, tentu saja Racial Profiling erat hubungannya dengan sejarah perbudakan di Amerika Serikat terutama Amerika bagian selatan seperti Atlanta, Georgia yang menjadi setting dalam novel ini. 

Akibat insiden tersebut, Justyce mengalami mental breakdown. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, seorang remaja berprestasi seperti Justyce, penerima beasiswa full di salah satu SMA paling bergengsi di Atlanta, remaja yang slalu aktif berorganisasi dan slalu mendapatkan peringkat baik di sekolah dihadapkan pada isu rasial yang dia pikir sudah lama menghilang dari kehidupan sosialnya. 

Di sepanjang novel, dia terus dibuat berpikir dan bertanya pada dirinya sendiri, yang semakin membuatnya sadar bahwa sekeras apapun dia berusaha untuk menjadi remaja kulit hitam yang berprestasi, pintar, dan berkelakuan baik, hal itu tidak serta merta membuatnya terbebas dari segala prasangka dan stereotip orang kulit hitam yang akan selalu melekat pada dirinya sampai kapanpun. 

Hal lain yang menarik perhatian saya dalam novel ini adalah adanya bentuk rasisme model baru yaitu Color-blind Racism (Rasisme buta warna). Rasisme model ini adalah bentuk rasisme yang terselubung, tidak kasat mata, dan terkesan tidak rasis. Ini adalah ideologi rasis yang sangat berbahaya. 

Eduardo Bonilla-Silva dalam bukunya yang berjudul "Racism Without Racists: Color-Blind Racism and the Persistence of Racial Inequality in the United States",  menjelaskan bahwa color-blind rasicm adalah bentuk rasisme yang bertolak belakang dengan rasisme model lama yang mana lebih terang-terangan, contohnya jaman dulu orang kulit putih bisa dengan gamblang mengatai "anda negro kurang ajar" di hadapan orang kulit hitam. 

Berbeda dengan color-blind racism, sekarang mayoritas orang kulit putih mengklaim bahwa "Saya tidak melihat warna, melainkan hanya manusia" (I don't see color, only people). 

Mereka percaya bahwa Amerika telah mencapai kesetaraan rasial, tidak ada lagi yang namanya rasisme atau diskriminasi, dan kesetaraan kesempatan tersedia untuk semua orang, baik orang kulit putih, hitam, ataupun latin. Terkesan tidak rasis bukan?

Namun dengan pandangan tersebut, mereka, orang kulit putih cenderung tidak peduli dan mengabaikan isu-isu rasial yang jelas-jelas masih berlangsung di sekitar mereka. Dengan begini, pandangan mereka yang semula terkesan tidak rasis, justru menjadi senjata terselubung yang terkadang tidak mereka sadari. 

Mereka menjadi kaum ignorance yang tidak peduli lagi dengan orang-orang yang masih menjadi korban diskriminasi rasial di Amerika. Bentuk rasisme ini sering dibawa ke meja argumentasi oleh orang kulit putih. 

Dari ideologi tersebut, mereka yang tidak mengalami rasisme akan dengan sangat mudah untuk tidak peduli atau acuh terhadap isu-isu rasial yang masih dihadapi oleh orang kulit hitam, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa orang kulit putih punya white privilege yang akan slalu menghindarkan mereka dari segala bentuk diskriminasi rasial. Namun tentu saja tidak semua orang kulit putih seperti itu. 

Ada empat frame (bentuk) color-blind racism menurut Eduardo Bonilla-Silva, antara lain Cultural Racism Frame, Minimization Racism Frame, Abstract Liberalism Frame, dan Naturalisation frame. Namun menurut analisa saya terhadap novel ini, saya menemukan tiga bentuk color-blind racism yang muncul di novel, antara lain Cultural, Minimization, dan Abstract Liberalism frame.

1. Cultural Racism Frame
Bentuk color-blind racism ini tercermin dalam argumen Jared, remaja kulit putih, teman satu sekolah Justyce, dan juga lawan Justyce dalam grup debat. Dalam argumennya, Jared menjelaskan bahwa Amerika sudah mencapai kesetaraan rasial, dan siapapun mereka, orang kulit hitam yang hidup dalam kemiskinan sama sekali tidak ada hubungannya dengan diskriminasi dan kesetaraan rasial. 

Dia juga mengklaim bahwa satu-satunya alasan kenapa mereka tidak bisa terhindar dari kemiskinan adalah karena kemalasan mereka. Tidak lupa dia juga membandingkan Manny dengan Justyce. Manny dan Justyce sama-sama remaja kulit hitam, namun orangtua Manny bisa membuktikan bahwa, biarpun mereka berkulit hitam/minoritas mereka tidaklah miskin. 

Hal itu cukup menjelaskan bahwa orangtua Manny bukanlah orang kulit hitam yang malas. Hal ini menyinggung Justyce, secara halus Jared menuduh Ibu Justyce yang mana seorang single parent masuk dalam kelompok orang kulit hitam pemalas karena mereka hidup dalam kemiskinan.

Dapat dilihat bahwa Jared menyalahkan kemiskinan orang kulit hitam sebagai sebuah budaya yang mempengaruhi posisi mereka dalam masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Eduardo, rasisme model ini sering dilabeli sebagai "budaya kemiskinan". 

Beberapa orang kulit putih seperti Jared cenderung menyalahkan orang kulit hitam sebagai kelompok yang malas, dan  tidak mau bekerja keras sehingga mereka tetap menjadi kelompok minoritas yang hidup dalam keterbatasan ekonomi.

Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya benar, Jared tentu saja tidak etis jika hanya memberikan satu atau dua contoh perbandingan. Seperti yang diungkapkan oleh Sarah Jane yang tidak setuju dengan argumen Jared.

Menurutnya, Jared harus bisa melihat dan mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti kurangnya kesempatan yang diperoleh kelompok minoritas, kurangnya lapangan kerja untuk mereka, dan hal ini tentu saja besar kaitannya dengan tindak diskriminasi rasial yang kelompok minoritas hadapi.

2. Minimization of Racism Frame
Rasisme model ini sebenarnya 11 12 dengan Cultural Racism yang sudah saya sebutkan diatas. Beberapa orang kulit putih tidak pernah menganggap rasisme sebagai permasalahan serius di Amerika Serikat. Mereka punya kecenderungan untuk menyederhanakan segala bentuk diskriminasi rasial yang terjadi di sekitar mereka.

Dan ketika mereka secara sengaja atau tidak sengaja melontarkan lelucon rasis di depan orang kulit hitam, mereka akan menganggapnya sebagai guyonan biasa. Ketika orang kulit hitam merasa tersinggung dan terhina dengan lelucon rasis tersebut, orang kulit putih akan menganggap bahwa orang kulit hitam ini "Terlalu Sensitif" atau dengan kata lain, mereka dituduh memainkan "Kartu Ras" yang mereka punya. 

Orang kulit hitam dianggap memiliki kadar kebaperan yang sangat tinggi jika bersinggungan dengan ras, terlebih apabila ras mereka dijadikan bahan olok-olokan oleh orang kulit putih. 

Jadi mereka dianggap selalu mengaitkan segala hal dengan ras, ras, dan ras. Hal ini merupakan bentuk pengabaian dan juga ketidakpedulian orang kulit putih tentang bagaimana sejarah kelam mempengaruhi kehidupan orang kulit hitam di masa sekarang.

3. Abstract Liberalism Frame

Rasisme model ini sering disebut dengan Abstract Racism. Pandangan atau ideologi rasis ini sering ditandai dengan perilaku abstrak orang kulit putih dalam menjelaskan isu-isu rasial. Rasisme ini hadir dalam 2 prinsip atau ideologi pendukung, antara lain:

- Equal Opportunity is available to everyone (Kesetaraan Kesempatan adalah hak semua orang)
Kalimat "semua orang" yang sering mereka lontarkan sudah barang tentu berlaku untuk seluruh umat, baik orang kulit putih maupun kulit hitam dsb. Ironisnya pandangan ini sering kali menjadi alat untuk menyerang Affirmative Action sebagai suatu tindak kejahatan terhadap diri mereka. Dalam novel ini, Jared merasa tidak terima ketika Justyce diterima di Yale sedangkan dirinya tidak. 

Jared mengklaim bahwa hal tersebut adalah bentuk diskriminasi yang dilakukan Affirmative Action terhadap mayoritas seperti dirinya yang mana orang dari kelompok minoritas seperti Justyce sering diberi kesempatan-kesempatan khusus yang justru merugikan orang kulit putih. 

Padahal, Justyce diterima di Yale bukanlah karena perlakuan khusus melainkan karena prestasi akademis dan usahanya sendiri. Apa yang dilakukan Jared tentu saja bertolak belakang dengan pandangan dia dan orang kulit putih lainnya dimana "kesetaraan kesempatan adalah milik semua orang", apabila kata-kata itu benar adanya, seharusnya tidaklah menjadi masalah ketika Justyce diterima kuliah di Yale, toh Equal Opportunity is available to everyone, right?. Inilah yang dimaksud dengan perilaku abstrak.

- Meritocracy
Dengan menggunakan prinsip ini, orang kulit putih percaya bahwa "people will be rewarded based on their merit, not their privilege" (orang dihargai dan dipilih berdasarkan kerja kerasnya bukan dari hak istimewa yang mereka punya). Jared yang merasa dirinya jauh di atas segala-galanya dibanding Justyce, beranggapan bahwa Yale menerima Justyce bukan karena kerja keras atau prestasi yang dia punya melainkan karena "kuota" untuk kelompok minoritas, dan ini merupakan privilege yang dimiliki Justyce.

Lagi-lagi Jared menyalahkan Affirmative Action, dan menuduh Yale memberikan kuota minoritas untuk Justyce. 

Jared : He took a spot I didn't get because Yale has to fill a quota. [...] point is, it gives an unfair advantages to minorities. So okay, Justyce and I might be "equals" or whatever. But there are other minorities without qualifications I have who will get in before I do. That's just not fair. (Page 61-62)

Jared : Whatever. All I know is that no matter what college I end up at, when I see a minority, I'm gonna wonder if they're qualified to be there. (Page 64).

Dari kutipan diatas, apa yang dilakukan Jared justru membuktikan bahwa dirinya lah yang memiliki dan melindungi Hak istimewa yang dia punya sebagai orang kulit putih. Dia dengan perilaku abstraknya menggunakan prinsip "Meritocracy" untuk menyerang Affirmative Action sekaligus untuk melindungi hak istimewa yang dia punya. 

Karena bagaimanpun juga, sebagai orang kulit putih, Jared merasa lebih pantas untuk diterima di Yale ketimbang Justyce yang hanya seorang minoritas. 

Sekeras apapun Justyce membuktikan bahwa dirinya diterima karena nilai dan prestasinya, Jared tidak peduli. Baginya Justyce tidak memiliki kualifikasi yang sama dengannya. Pada akhirnya Jared masih melihat warna, dan menganggap dirinya lebih intelektual daripada Justyce. Lagi-lagi karena dia putih dan Justyce hitam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun