Mohon tunggu...
Melanius Oematan
Melanius Oematan Mohon Tunggu... Guru - Olahraga, sastra, musik, jurnalistik, video editor

Melton Oematan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ardy

14 Mei 2020   15:57 Diperbarui: 14 Mei 2020   16:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari masih di puncak langit saat lonceng sekolah berbunyi. Para guru mulai menghentikan pembelajaran dan menutup kegiatan belajar hari ini dengan berdoa. Selesai berdoa, anak-anak berhamburan keluar sambil berlari kencang. 

Aku segera keluar kelas. Seperti teman-temanku, kami berlari kencang.

"Mari su kita uji lari," kata Ardi, teman sekampungku. 

"Tapi kita langgar jalan dulu baru mulai sa," aku menyanggah. "Oto banyak ni nanti kita kena tabrak".(kata oto kami gunakan untuk menyebut mobil).

Kami pun bergegas ke sebelah jalan. Kampung kami memang berada di seberang jalan. Dan hampir setiap hari kami selalu memanfaatkan jalan raya untuk bermain sepulang sekolah. 

Hidup kami dipenuhi peemainan. Setiap saat, jika ada kesempatan, kami bermain entah di sekolah, di gereja, pun di sekolah. Permainan kami beranekaragam. Ada yang kami ciptakan sendiri, ada yang kami warisi dari kakak-kakak kami. 

"Siap e...sa hitung sampe 3 kita mulai," kataku.

Kami sudah melepas sepatu. Ada yang diikat dipinggang. Ada yang dipegang saja. Buku tulis sudah kami selipkan di pinggang. Hanya temanku ardy yang tidak memegang apapun. Ia tidak memakai sepatu ataupun sendal saat ke sekolah. Orangtuanya tidak mampu membeli sepatu untuknya. 

"Satu...dua...tiga!"

Kami berlari sekencang-kencangnya. Ardy kelihatan cukup mudah mengalahkan kami. fisiknya yang sedikit kekar dan kakinya yang panjang membuat ia dengan mudah menjauhi kami. 

Ardy memang tidak seusia kami meski sekelas.ia sering tinggal kelas dan itu dianggap biasa olehnya. Orangtuanya pun acuh tak acuh. Kesulitan ekonomi membuat mereka tidak bisa serius memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Apalagi, ayahnya hanya seorang petani sederhana.

Banyak anak di kampungku yang seperti Ardy. Mereka memiliki banyak saudara sedangkaan orangtua mereka tak punya pekerjaan. Ironisnya, mereka menerima semua itu sebagai hal yang lumrah dan biasa. 

Lomba lari dimenangkan oleh Ardy. Meski demikian, kebahagiaan tetap terpancar dari wajah kami masing-masing. 

"Sore kita main perang matinas ko?", tanyaku.

"Ai besok sa. Ini hari kami pi kebun e. Nanti sa pu bapa marah kalo sa main," kata Ardy sambil melambaikan tangan dan masuk ke rumahnya. 

Kami berpisah dan berharap besok bertemu lagi dan bermain.

* * *

Sejak siang itu aku tak pernah melihat Ardy lagi. Ia tak masuk sekolah. Ternyata di malam hari itu,kakak perempuannya tertangkap berpacaran di tempat gelap. Menurut adat di kampungku, jika ada pasangan yang berpacaran di waktu malam maka akan diberi denda 1 ekor binatang berkaki empat. Binatang itu akan diaembwlih dan dimakan bersama-sama orang se-kampung.

Sejak hari itu, keluarga Ardy pindah ke kota lain. Keluarganya memilih untuk pindah karena tak sanggup membayar denda. 

Aku kehilangan salah satu teman bermainku. Padahal kami masih kecil dan masih ingin bersama-sama. 

Tapi aku tetap harus menerimanya. Dunia anak-anak bukan utama. Adat adalah doktrin yang tidak bisa salah. Dan manusia hanya bisa tunduk padanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun