Matahari masih di puncak langit saat lonceng sekolah berbunyi. Para guru mulai menghentikan pembelajaran dan menutup kegiatan belajar hari ini dengan berdoa. Selesai berdoa, anak-anak berhamburan keluar sambil berlari kencang.Â
Aku segera keluar kelas. Seperti teman-temanku, kami berlari kencang.
"Mari su kita uji lari," kata Ardi, teman sekampungku.Â
"Tapi kita langgar jalan dulu baru mulai sa," aku menyanggah. "Oto banyak ni nanti kita kena tabrak".(kata oto kami gunakan untuk menyebut mobil).
Kami pun bergegas ke sebelah jalan. Kampung kami memang berada di seberang jalan. Dan hampir setiap hari kami selalu memanfaatkan jalan raya untuk bermain sepulang sekolah.Â
Hidup kami dipenuhi peemainan. Setiap saat, jika ada kesempatan, kami bermain entah di sekolah, di gereja, pun di sekolah. Permainan kami beranekaragam. Ada yang kami ciptakan sendiri, ada yang kami warisi dari kakak-kakak kami.Â
"Siap e...sa hitung sampe 3 kita mulai," kataku.
Kami sudah melepas sepatu. Ada yang diikat dipinggang. Ada yang dipegang saja. Buku tulis sudah kami selipkan di pinggang. Hanya temanku ardy yang tidak memegang apapun. Ia tidak memakai sepatu ataupun sendal saat ke sekolah. Orangtuanya tidak mampu membeli sepatu untuknya.Â
"Satu...dua...tiga!"
Kami berlari sekencang-kencangnya. Ardy kelihatan cukup mudah mengalahkan kami. fisiknya yang sedikit kekar dan kakinya yang panjang membuat ia dengan mudah menjauhi kami.Â
Ardy memang tidak seusia kami meski sekelas.ia sering tinggal kelas dan itu dianggap biasa olehnya. Orangtuanya pun acuh tak acuh. Kesulitan ekonomi membuat mereka tidak bisa serius memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Apalagi, ayahnya hanya seorang petani sederhana.