Mohon tunggu...
Fajry Akbar
Fajry Akbar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Natural born scientist

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sesat Pikir "Risk-Sensitive" Modal Bank dan Resiko Sistemik

19 Juli 2014   21:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:52 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apasih resiko sistemik itu ? dan apa pedulinya gue ama resiko sistemik ? so buat peduli apa gw ngitung resiko sistemik.

Masih ingat krisis moneter tahun 1998 ? Ya, saat bank-bank dilikuidasi pemerintah. Yah, termasuk bank tempat bapak saya berkerja. Masih ingat dampaknya kan ? Saya masih ingat bagaimana sulitnya kondisi ekonomi kelurga saya pada saat itu. Lebih dari itu, Krisis tak hanya menjalar ke ekonomi tapi juga ke sistem sosial masyarakat, kerusuhan berlatar belakang SARA terjadi diseluruh indonesia. Sebuah biaya yang mahal bukan ? Itulah dampak dari resiko sistemik.

Apa itu resiko sistemik ? kata mbah adair turner sih resiko sistemik itu terjadi saat lembaga keuangan tidak bisa lagi menjalankan fungsi utamanya yaitu fungsi intermediaries. Tapi ada juga yang bilang kalau resiko sistemik itu adalah resiko yang menyebabkan kegagalan satu atau beberapa lemabaga keuangan yang berasl dari kejadian sitemik seperti Contagion effect. Dimana saat bank gagal penyakitnya menular ke bank lain yang menyebabkan bank lain juga ikut gagal.

Untuk mencegah hal tersebut terulang maka diterapkannya BASEL II bagi perbankan . Salah satu hal yang penting adalah aturan “Bank Capital is Risk Sensitive” Artinya, Permodalan yang harus dimiliki oleh suatu bank ditentukan oleh berapa besar dari resiko yang dimiliki asetnya. Jadi kalau aset yang dimilikiya beresiko besar maka modal yang dimiliki juga besar begitupula sebaliknya.

TAPI ???? bagaimana kita dapat mengukur resiko yang dimiliki aset dari sebuah bank ??? karena kalau kita salah menghitung resiko dari sebuah bank dampaknya bisa berbahaya. Misalkan bank dengan aset sangat beresiko tapi saat otoritas ukur resiko-nya rendah maka si bank akan memegang modal sedikit saja atau lebih leverage. Anda bisa bayangkan, High Risk asset tapi dengan capital yang rendah ? inilah yang terjadi pada krisis 2008 di amerika lalu.

Emang sampe segitu susahnya apa mengukur resiko sistemik ? Nah ini dia pokok permasalah

Motode yang biasa dipakai sih namanya VaR (value at risk) akan tetapi metode ini banyak mengundang kritik setelah krisis 2008. mbah Taleb dan akang Triana (2008) berwejang bahwa

“risk methods that failed dramatically in the real world continue to be taught to students”, dan “a method heavily grounded on those same quantitative and theoretical principles, called Value at Risk, continued to be widely used. It was this that was to blame for the crisis.”

Kelemahan VaR adalah karena dia tidak dapat menjelaskan “event” pada “tail distribution”. Padahal Kondisi krisis seperti tahun 2008merupakan  kondisi yang berada pada “tail distribution”. Oleh karena itu, IRONI kalau kita menggunakan VaR untuk mengukur resiko sistemik

Lalu Bukankah ada CoVaR (Conditional value at Risk) atau Expected Shortfall yang katanya dapat menghitung “tail distribution” ? meskipun banyak yang mengkrikit kalau “tail distribution” sebenarnya tak bisa diukur.

Lalu bagaimana sekarang ?

Jujur sampai sekarang belum ada metode pengukuran resiko sistemik yang akurat. Jurnal terakhir yang dibaca penulis yaitu  Model Risk of Risk Models oleh mbah Jon Danielsson yang juga sesepuh perguruan Systemic Risk center(LSE). Hasilnya Risk model yang biasa digunakan tidak bisa menduga resiko sistemik karena pada periode bukan financial distress, model of risk ternyata terndah. Hal inilah yang juga disebut volatility paradox oleh Brunnermeier yang menyebutkan bahwa bahaya dari resiko sistemik itu terjadi pada saat volatilitas itu rendah bukan sebaliknya. Hal tersebut pastinya bakal percuma aja kalau digunakan sebagai dasar kebijakan makroprudensial.

Sehingga jadi pertanyaan adalah ? Apakah kita masih berpegang teguh pada keyakinan akan iman bahwa permodalan bank harus “Risk Sensitive”? mari lihat sejarah 2008, pada  bank dinilai memiliki modal yang cukup oleh regulator  ternyata kondisinya sebaliknya. Beberapa studi menyatakan bahwa beberapa bank yang memiliki modal tinggi berdasarkan kritieria Basel II ternyata memiliki permodalan yang paling rendah berdasarkan “leverage ratio”. Fenomena dinamai oleh mbah Danielson sebagai “financial engineering premium”.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun