Mohon tunggu...
Melati Fatikasari
Melati Fatikasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Public Relations, Social Media, Marketing Communication.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Reputasi Pemerintah Terhadap Serangan Hacker

26 September 2022   12:38 Diperbarui: 26 September 2022   12:45 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: ayosemarang.com

Nama : Melati Fatikasari

Nim : 2019041040

Dosen : Dr. Geofakta Razali, M. I. Kom

Mata Kuliah dan Kampus : Manajemen Krisis UPJ

       Pada Era Globalisasi seperti saat ini, bermacam-macam media yang bervariasi kian berembang sebagai sarana komunikasi untuk mendapatkan informasi. Banyak perusahaan/instansi dan juga bidang kerja yang memanfaatkan hal ini sebagai alat atau wadah mereka sebagai media mereka untuk menyampaikan informasi penting kepada khalayaknya. Maka dari itu, penggunaan suatu media sebagai sarana komunikasi dan informasi juga tentu memiliki dampak terhadap reputasi suatu perusahaan/instansi yang bersangkutan. Definisi reputasi dikutip dari artikel oleh Jamal, J. menurut Fombrum (1996, 2012) merupakan representasi yang datang dari aksi suatu organisasi di masa lalu yang akan menentukan prospek masa depan dari organisasi tersebut yang mendeskripsikan daya tarik utama dari organisasi dibandingkan dengan yang lainnya. Reputasi baik atau positif penting untuk dibangun dan dipertahankan oleh suatu organisasi untuk membangun kepercayaan publiknya yang nantinya akan mempengaruhi kesuksesan organisasi tersebut. Oleh karena itu, suatu instansi/organisasi perlu untuk mengelola reputasi yang dimilikinya, termasuk saat terjadi krisis yang melanda. Contoh kasus yang belum lama ini terjadi adalah adanya kasus kebocoran data yang dialami oleh Pemerintahan Indonesia oleh hacker bernama Bjorka. 

       Dilansir dari Purwakarta News, Bjorka diduga merupakan seseorang atau sekelompok hacker  yang meretas situs pemerintahan Indonesia seperti Kominfo. Bjorka juga mengklaim bahwa dirinya telah berhasil mencuri dokumen rahasia milik negara yakni milik Badan Intelijen Negara (BIN). Selain itu, ia juga mengaku telah menjual data pemerintah kepada suatu situs bernama breached.to. Data ini antara lain data pengguna Indihome, data kartu SIM, data KPU, dan juga data surat menyurat rahasia milik Presiden dan para pejabat penting di Indonesia. Tidak hanya itu, baru-baru ini Bjorka juga mengancam akan meretas data milik MyPertamina. Dengan adanya kasus ini, tentu sangat berdampak pada reputasi pemerintahan yang terancam. Hal ini dikarenakan bahwa dengan adanya data penting yang bersifat rahasia milik pemerintahan yang bocor ke tangan orang lain mengindikasikan bahwa sistem keamanan siber yang dimiliki oleh pemerintahan Indonesia masih tergolong lemah. Terlebih lagi, kasus peretasan dan kebocoran data ini bukan kasus yang pertama kali terjadi oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 2014, kebocoran data KPU sempat menjadi sorotan masyarakat karena hacker diklaim telah menjual sebanyak 2,3 juta data pada situs forum dark web. Tidak hanya itu, pada awal tahun 2022 juga terjadi kebocoran data pada Kemenkes terhadap pasien Covid-19. Kasus Bjorka dan juga kasus-kasus kebocoran data yang pernah terjadi sebelumnya dapat menciptakan reputasi buruk bagi pemerintahan Indonesia bahwa data pribadi milik masyarakat tidak dilindungi dengan baik. Pemerintah mengklaim telah melakukan penulusuran dan pencarian secara terus menerus terhadap krisis yang disebabkan oleh hacker Bjorka ini. Namun, hingga saat ini masih belum jelas apa saja rincian penelusuran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kasus ini.

       Dari sisi Public Relations (PR) Pemerintahan, yang dapat dilakukan dalam menangani kasus ini adalah pastinya dengan membuat pernyataan resmi atau pers dalam waktu yang cepat begitu isu mengenai kasus Bjorka ini tersebar. Dalam membuat pernyataannya, pertama-tama seorang PR pemerintahan harus menyampaikan permintaan maaf kepada publik dan seluruh masyarakat Indonesia dan mengakui atas kelalaian atau lemahnya sistem keamanan siber yang terdapat saat ini dan akan menanggulangi masalah tersebut bersamaan dengan transparansi kepada masyarakat namun juga tidak membeberkan informasi rahasia pemerintah. Pakar Teknologi dan Informatika (TI) serta Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi menyampaikan bahwa kunci keamanan adalah kolaborasi dari pemerintah, penyelenggara sistem informasi, akademikus, masyarakat, hingga media massa. Maka dari itu, langkah selanjutnya yang harus dilakukan seorang PR adalah dengan melakukan kerjasama antara pihak-pihak yang bersangkutan seperti Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), Polri sebagai penegak hukum, dan juga pastinya menghimbau masyarakat untuk tetap menjaga data pribadi nya sendiri agar tidak sembarangan dalam menyebarkannya.

       Selain itu, adapun Crisis Plan yang dapat dilakukan oleh seorang PR dalam menanggulangi masalah serupa adalah yang pertama dengan mengindentifikasi permasalahan tersebut. Latar belakang dan apa saja kemungkinan yang menyebabkan masalah tersebut dapat terjadi, serta siapa saja yang terkena dampak. Setelah itu, PR dapat menganalisis apa saja yang dapat terdampak dari masalah ini atau resiko yang dapat ditimbulkan dari aksi-aksi tertentu. Hal ini dilakukan untuk dapat menentukan langkah mana yang dapat diambil dengan tetap meminimalisir kerugian. Setelah mencatat apa saja potensi resiko yang dapat ditimbulkan, barulah PR harus melakukan koordinasi dengan seluruh stakeholders dan juga media-media untuk melakukan transparansi dengan menyampaikan informasi kepada khalayak mengenai permasalahan yang terjadi serta strategi apa yang akan dilakukan oleh perusahaannya. Setelah itu, seorang PR juga haru merencanakan strategi setelah respon dari masyarakat berdatangan.

       Teori komunikasi yang dapat diterapkan pada kasus ini adalah Situational Crisis Communication Theory (SCCT), dimana untuk menghindari dampak dari krisis, maka komunikasi krisis harus dilakukan secara cepat, luas, dan benar. Coombs memaparkan definisi dari komunikasi krisis sebagai sekumpulan, proses, atau pengumpulan informasi yang dilakukan untuk mengatasi situasi krisis (Coombs W. T., 2010).  Teori SCCT mengidentifikasi bahwa bagaimana hubungan krisis dan juga reputasi dapat dipengaruhi oleh respons dari pemangku kepentingan, serta melalui teori ini dapat dipahami pula bagaimana respons akan ditimbulkan dari publik mengenai upaya penanggulangan krisis tersebut pada masa pascakrisis (Wulandari, 2011). 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun