Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berapa Cukai Gading Gajah?

27 Oktober 2021   11:36 Diperbarui: 27 Oktober 2021   11:45 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya akrab dengan istilah "seleksi alam" ketika menjadi anggota salah satu organisasi di sekolah menengah dulu. Para senior sering menggunakan istilah itu ketika membicarakan bagaimana kami harus bertahan dalam kesatuan dan lolos menjadi yang terbaik dalam seleksi alam. Walaupun nyatanya proses itu terjadi di sekolah, untungnya saya tidak pernah bertanya mengapa mereka memilih istilah seleksi alam alih-alih seleksi sekolah.

Mereka mengulang-ulang bagaimana proses seleksi alam terjadi yang membuat saya berpikir mereka mungkin tidak punya topik lain untuk dibahas selain menggumamkan diri mereka sendiri yang memang bertahan dalam seleksi alam tingkat sekolah itu.

Seleksi alam dan cukai gading gajah

Kita mengembangkan rasa takut pada kegelapan karena nenek moyang kita yang berhasil hidup dan menurunkan gen adalah mereka yang mempunyai kewaspadaan pada kegelapan. Ancaman binatang buas adalah salah satu alasan paling masuk akal untuk takut atau setidaknya waspada terhadap kegelapan.

Kita juga kemungkinan besar mengembangkan insting untuk memuntahkan segala sesuatu yang rasanya pahit karena nenek moyang kita yang berhasil bertahan adalah mereka yang mampu mengenali racun ketika baru sedikit meneguknya. Sehingga masuk akal bila dari waktu ke waktu, kemampuan yang relevan terhadap bagaimana kita mempertahankan kelangsungan hidup akan menentukan individu mana yang hidup paling lama sekaligus berkesempatan menurunkan gennya di kemudian hari.

Sayangnya, hal itu tidak berarti mutlak bahwa manusia secara naluriah selalu bisa menghindari hal-hal yang bisa membahayakan hidupnya atau tempat tinggalnya. Perburuan hewan liar atau malah pengambilan organ tubuh hewan (bisa disebut pemanfaatan satu atau beberapa bagian tubuh dengan membunuh hewan terlebih dahulu) adalah isu dari dekade ke anak dekade lainnya.

Yang tak luput dari itu adalah gajah. Ketika mengecek apa-apa saja yang orang cari dengan kata kunci "gading gajah", saya menemukan berbagai kata kunci lain semacam "pipa rokok gading gajah", "cara merawat pipa rokok gading gajah", hingga "pipa rokok gading gajah murah".

Kita mulai dengan kata kunci pertama. Mengapa seorang manusia harus membakar paru-paru mereka dengan terlebih dahulu membunuh dan menggunakan tulang hewan sebagai pipa rokok? Tidak ada yang lebih menghinakan tuhan dari pada kegiatan memangkas usia sekaligus membunuh makhluk hidup yang bahkan tidak ikut ngudud bersamanya.   

Kata kunci ketiga adalah yang paling absurd. Menggunakan tulang hewan yang dilindungi untuk mempersingkat angka harapan hidup, tetapi ingin harga yang murah? Pertama, ini menistakan keinginan pemerintah untuk memperpanjang angka harapan hidup. Yang berarti mengantarkan kita pada poin kedua dimana aktivitas ini juga melukai dua kementerian sekaligus yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hal ini mengingatkan kita pada konsep cukai rokok dimana sebetulnya, pembebanan cukai dilakukan pemerintah untuk "menebus" rasa bersalahnya karena membiarkan banyak orang terpapar risiko penyakit (merujuk pada fakta bahwa cukai digunakan untuk mengendalikan konsumsi rokok, terlepas dari keefektifan cukai tersebut). Ini dilakukan karena industri rokok dinilai masih bisa diandalkan untuk mencetak uangnya sendiri.

Dengan pertimbangan ini, kekhawatiran yang saya harap tidak terjadi adalah jika sampai ada cukai untuk penggunaan organ tubuh hewan. Seperti konsep di atas, cukai ini bisa saja (walaupun semoga tidak) diadakan untuk menebus rasa bersalah kita terhadap hewan, tetapi sekaligus memantatinya dengan uang yang kita dapat dari hasil komersialisasi gading gajah secara masif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun