Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Omong Kosong Lelaki-Perempuan

21 Maret 2021   14:22 Diperbarui: 21 Maret 2021   14:31 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di antara ribuan ocehan di internet mengenai kebencian kepada pemerintah, suku, atau agama tertentu, ada satu jenis ocehan yang saya benci terlalu dalam: protes mengenai betapa terganggunya satu gender terhadap perilaku gender lain. Seakan tidak ada satu ekorpun mamalia dari gendernya yang memiliki ciri seperti itu.

Satu hal yang terlihat dari (sebenarnya tidak hanya) ocehan itu adalah fakta bahwa ada garis ilusi yang digunakan orang untuk membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal kesifatan. Perempuan yang terlalu memakai perasaan serta lelaki yang lebih suka menggunakan akal (hah, akal?). Pasalnya, saya tidak melihat dua gender ini sepatutnya dipersepsikan sedemikian rupa. Mengingat justru persepsi-persepsi itulah yang membentuk kumpulan sifat yang seakan harus melekat pada tiap gender. 

Saya rasanya perlu menggarisbawahi kenyataan bahwa persepsi itu tidak sama sekali berasal dari keadaan biologis mamalia penganut paham segregasi gender.

Saya tidak lagi merasa perlu menjelaskan dari nol karena sudah terlalu banyak orang dan tulisan yang menjelaskan bagaimana lingkungan membentuk pembagian kerja untuk perempuan yang tentunya kebanyakan berbau kerja domestik yang membutuhkan sosok keibuan, jauh dari sifat maskulin, serta mengasosiasikan laki-laki dengan kerja-kerja intelektual dan atau pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik yang berat. Terlalu basi jika ada yang tidak tahu itu.

Apakah implikasi pernyataan itu termasuk bahwa jika seorang individu dibesarkan di suatu lingkungan dengan pembagian kerja dan persepsi yang berkebalikan dari gendernya, maka orang itu bisa menempati peran gender yang berseberangan dengan jenis kelaminnya? Ya. Peran gender yang konstrukif memungkinkan seorang individu memiliki nilai-nilai gender yang berbeda dari apa yang diyakini masyarakat, hanya dan hanya jika ia dikonstruk atau dibentuk seperti itu.

Dalam hal pembagian gender yang terlalu tegas ini, saya merasa bahwa penanaman nilai pada individu justru tidak efisien. Bayangkan bila seorang anak laki-laki diajarkan oleh orang tuanya bahwa memukul perempuan itu suatu tindakan yang buruk. Lalu apakah bila yang dipukul adalah lelaki, sama seperti dirinya, maka pemukulan diperbolehkan? Orang tuanya lalu menjelaskan bahwa pada laki-laki pun tidak dibenarkan melakukan hal serupa. Lalu apa gunanya menyebut kata perempuan di awal? Bukankah merepotkan apabila pada dasarnya yang harus dihormati adalah keduanya?

Masih dengan hal penanaman nilai yang biasanya dilakukan secara intensif pada anak kecil. Ada seseorang yang diajarkan untuk memberikan kursinya di tempat umum kepada perempuan, lalu ketika ia mendengar narasi kesetaraan gender, ia berhenti melakukan tindakan itu karena merasa bahwa perempuan patutnya mendapatkan apa yang ia tuntutkan. Paham yang memisahkan gender inilah yang bisa jadi problematis. Upaya menspesialkan perempuan ini justru saya rasa berasal dari asumsi bahwa perempuan lebih lemah secara fisik daripada laki-laki.

Namun argumen itu tidak lantas cukup valid untuk digunakan sebagai alasan untuk menspesialkan perempuan. Jika perempuan harus diberikan perlakuan khusus karena asumsi lebih lemah secara fisik (yang mana saya tidak bisa mengonfirmasi kebenaran asumsi ini), maka patutnya bukan hanya saja perempuan yang mendapatkan perlakuan khusus, tetapi juga laki-laki yang kebetulan memenuhi syarat untuk dianggap lemah secara fisik. Seperti sedang sakit, berusia lanjut dan sebagainya.

Asumsi perempuan lebih lemah sehingga harus dispesialkan ini terdengar sangat bagus di permukaan, tetapi sangat mungkin menimbulkan pemikiran bahwa karena sifat lemahnya ini perempuan tidak secakap dan sepintar laki-laki, pendapatnya yang tidak lebih didengar daripada laki-laki dan penyepelean lainnya.

Melihat seorang individu dari sisi manusianya dan bukan dari gendernya setidaknya akan memangkas banyak tenaga untuk menjelaskan kenapa perempuan harus dihargai tanpa menomorduakan laki-laki yang juga adalah seorang manusia yang utuh eksistensi. 

Justru ketika kita memahami fakta bahwa manusia akan membutuhkan manusia lain, maka jenis kelamin hanyalah sesuatu yang kebetulan melekat pada manusia yang kita butuhkan itu. Kita membutuhkan sosok petani-petani yang menyediakan nasi untuk piring kita dan kebetulan petani itu adalah seorang lelaki. Lantas apakah frasa "membutuhkan lelaki" adalah tepat?

Membantu perempuan hamil yang membawa benda berat, apakah berarti bahwa kita sedang menspesialkan perempuan hamil itu karena gendernya? Bahkan ketika yang berada di depan mata adalah seorang lelaki hamil pun, tetapi kita tahu ia butuh bantuan orang lain maka bukan saatnya mengidentifikasi apakah act of kindness ini berdasar atas kelelakiannya atau bukan.  


Terakhir, sebelum memutuskan untuk pro atau kontra, saya sarankan membaca satu artikel ini.
https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-49956307

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun