Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melihat yang Sudah Terlihat

15 Maret 2021   10:44 Diperbarui: 15 Maret 2021   10:47 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam perjalanan tadi, beberapa motor lewat. Beberapa mobil lalu-lalang. Beberapa orang hadir di makam pahlawan kota. Kesemuanya mengacungkan ponsel ke atas para pria berseragam yang membentangkan bendera negara di atas sebuah jasad yang ditanam. 

Tiba-tiba ada yang panas meluap, kematian tidak pernah membuat sesiapapun jadi dingin memang. Tetapi rasanya ada yang meninggi saat melihat kumpulan manusia sedang menanam manusia yang lain dengan acungan ponsel.

Meninggalkan anak dan istri bukan pilihan. Tidak seperti jalan ke kampus yang bisa kita hitung jauh dekatnya atau seberapa mungkin kita bertemu dosen pembimbing yang menanyakan penelitian yang bahkan belum kita lakukan, kematian tidak bekerja seperti itu. Kadang ada yang mencium baunya terlebih dulu dan ada yang tidak. Yang jelas untuk bapak yang dikebumikan tanggal 11 Maret di sudut kota tahun 2021 pukul 10.40 tadi, sudah kukirimi surat pendek. 

Tidak cukup menghangatkan, mengingat peran yang hanya sebagai pejalan yang teringatkan oleh kematian dalam perjalanannya pulang. Semoga tempatnya cukup teduh untuk ukuran seorang yang menempelkan nyawanya ke negara ini.

Namun agak serak ketika mengingat bahwa rata-rata orang di sana mengacungkan ponselnya untuk mengabadikan peristiwa. Mengabadikan peristiwa dengan menghilangkan keberadaan diri pada saat sekarang? Kita bisa melihat momen itu berulang-ulang dengan piranti apapun, tetapi tidak ada hayat dan rasa yang sedalam diam takzim mendengarkan letupan senjata perpisahan. 

Saya mungkin tidak akan melakukan hal yang lebih baik bila ada di posisi mereka, tetapi dengan ini saya tidak akan melakukan hal yang sama ketika dihadapkan dengan situasi serupa nanti.

Seperti halnya juga perayaan pengenalan diri yang tertunda selama hampir 30 tahun. Dirayakan dengan dentuman hinaan tidak tahu diri oleh orang yang bahkan hanya numpang lewat di pinggir sosial media tempatnya membuang rasa bersalahnya menjadi manusia. 

Dalam agama saya, ia sangat legal menjadi lelaki dan begitupun juga ribuan orang lain yang mempunyai kasus sama. Mungkin tidak pernah enak rasanya bertanding di lapangan dengan gugatan jenis kelamin dari pihak lawan yang menyangka bahwa anggota tim perempuan di seberangnya adalah lelaki tulen (yang sebetulnya adalah iya). Maka sebetulnya keramahan Indonesia ini di sebelah mana?

Saya sepertinya salah dengan mengasosiasikan keramahan dengan keluguan orang yang secara khas biasanya melekat karena sebuah ketidaktahuan akan dunia luar. Seperti halnya warga Dukuh Paruk yang menyambut dengan hangat niat seorang komunis bernama Bakar yang sebetulnya sangat mudah tertebak aromanya oleh orang yang lebih melek. Saya beranggapan demikian karena mereka memang orang yang tidak tahu apa-apa.

Seputaran waktu kemudian saya mendapati orang-orang dengan pengetahuan sedangkal warga Dukuh Paruk dengan lincahnya mengalamatkan kebinalan artis yang dipersunting seorang pangeran salah satu kerajaan terbesar dunia. Yang katanya tidak siap dengan konsekuensi menjadi keluarga kerajaan, tidak bermoral, memisahkan suaminya dari keluarga kerajaan. 

Kesemuanya dengan mengindahkan bagaimana perempuan objek gunjingan itu diperlakukan tidak mengenakkan karena warna kulitnya yang gelap.
Saya tidak menutup kemungkinan dengan adanya ketidakbenaran yang mungkin sengaja atau tidak sengaja keluar, termasuk juga upaya membungkus fakta tertentu dari sudut pandang si pembicara pertama, tapi dengan tidak mengindahkan fakta itu, setidaknya ada barang satu-dua hal yang perlu bersama kita lihat lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun