Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Antara "Authority Issue" dan Kepatuhan Perempuan

23 Oktober 2020   19:46 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:22 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan dengan kemampuan multitasking. (sumber: SHUTTERSTOCK/KIT8.net)

Siang tadi saya bertemu seorang teman. Agaknya tidak bertemu selama berbulan-bulan membuat saya lupa kalau saya bisa mendiskusikan lebih banyak hal dengan perempuan satu ini. 

Ia mengatakan pada saya mengenai salah satu hal yang mengganggunya ketika berdiskusi dengan teman lelakinya. Narasi 'menjadi perempuan patuh' adalah topik yang dilempar oleh si teman lelaki itu. 

Ternyata reaksi teman saya ini persis sama dengan apa yang ada di pikiran saya. Ia menolak dengan tegas pernyataan itu jika tidak dibatasi dengan kondisi tertentu.

Sebetulnya hal ini bukan yang pertama kalinya mengganggu saya. Beberapa kali saya mendapati lelaki yang menyebutkan kriteria yang diinginkannya adalah yang patuh. Yang patuh?

Itu menandakan bahwa otoritas penuh dalam pengambilan keputusan berada pada lelaki. Jika konteksnya adalah kepala keluarga, tentu memang pengambil keputusan terakhir haruslah yang paling bertanggung jawab atasnya, tetapi proses perumusan keputusannya itulah yang dapat menganulir peran perempuan jika yang digaungkan hanyalah 'jadilah perempuan yang patuh!'

Hal ini juga dinyatakan oleh Free Hearty dalam bukunya yang berjudul Keadilan Jender. Ia yang pada bagian pertama mengkaji novel Perempuan dalam Titik Nol, menjelaskan ketidaksetujuannya pada otoritas mutlak lelaki yang secara tidak langsung sangat tidak menghargai perempuan sebagai seorang individu yang merdeka dan dapat berpikir. 

Dalam buku yang sama pula, narasi perempuan patuh disebutkan berkali-kali (dan saya yakin pembaca juga mengiyakannya) yang mana, pada laki-laki tentu saja tidak.

Novel yang dikaji pertama dan berjudul Perempuan dalam Titik Nol ini, merepresentasikan peran perempuan dalam pengambilan keputusan yang direnggut begitu saja, bahkan dalam keputusan besar menyangkut masa depannya. 

Firdaus, si tokoh utama yang baru saja lulus sekolah menengah pertama, harus dinikahkan dengan seorang duda yang memasuki pensiun pada tahun pertama. 

Ia tidak memiliki suara sama sekali untuk berkata tidak. Jangankan tidak, sekadar menyatakan persetujuannya saja ia tidak diberi kesempatan sama sekali.

Saya rasa narasi ini menjadi sangat salah ketika ada seseorang yang mencoba memunculkan di permukaan dan membuatnya seakan menjadi indikator utama seorang perempuan pantas dinikahi atau tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun