Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bercakap dengan Genteng

10 Oktober 2020   17:35 Diperbarui: 11 Oktober 2020   13:22 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Genteng, bagaimana kabarmu setelah tubuhmu mungkin terinjak dan terisak tanpa dipedulikan? Mereka sedang marah, Genteng. Namun aku tidak sedang membela mereka, melainkan memberimu alasan untuk memaafkan mereka tanpa syarat. Walaupun dengan itu mungkin kau akan berakhir menjadi tanah lagi, tempat dimana kau lahir dulu. Dengan membiarkan anak-anak genteng lain meniduri tempatmu di depan kantor perwakilan rakyat.

Kepergianmu akan jadi alibi untuk membengkakkan uang yang sebenarnya tipis, mungkin. Aku tidak bisa yakin dengan itu, tapi terlalu banyak bukti yang mustahil membuatku tidak berpikir demikian. Yang jelas bukan salahmu.

Genteng, maukah kau berbagi cerita mengenai puluhan wakil rakyat yang terjaring rasuah? Yang tiga di antaranya tidak menerima uang karena sakit dan tengah ada urusan sehingga tidak datang. Menurutmu jika ketiga orang itu datang, apakah kesemuanya akan menerima bagian?
Masuk surat kabar nasional dengan kasus semacam itu tentu tidak mengenakkan, Genteng. Terlebih itu adalah kota tempatku belajar.

Sehari sebelum pemrotesan terjadi, apakah kau mengharapkan mereka datang, Genteng? Jika saja kau tahu hanya akan menjadi objek perusakan, akankah kau tetap senang dengan senyum bisumu? Aku tahu kau pasti senang melihat betapa anak muda peduli dengan nasib bangsanya. 

Kau juga pasti berbagi tawa dengan tembok yang menaungi penjaga di bawahmu. Apa yang kau ceritakan saat itu, Genteng?
Lautan manusia itu, apakah ia mengganggumu? Selain fakta bahwa kau dibunuh oleh mereka? Tidakkah anak-anak muda yang lebih gemar mengacungkan ponsel itu sedikit mengganggumu?

Genteng, maafkan kami bila kami menganggap matinya dirimu, halte-halte bus itu, serta benda yang seakan mati itu tidak begitu penting dibandingkan dengan menetesnya darah manusia. 

Hidup mati orang tentu sesuatu yang sakral, tetapi patutnya mereka juga tahu bahwa kau juga dilahirkan dari keringat darah rakyat. Siapa yang tahu bahwa satu senti tulangmu yang remuk dilahirkan oleh seorang ayah yang bekerja larut agar ciumnya pada anak gadisnya tidak diselimuti rasa bersalah?

Siapa yang tahu bahwa orang tua yang membuatmu ada adalah seorang perempuan yang tidak hanya jadi tulang punggung, tetapi juga sendi, otot dan darah bagi keluarganya? Sebab setiap sudut bangunan publik adalah anak-anak dari rakyat yang dicuri uangnya oleh konglomerat. 

Tidak ada yang lebih baik, menumpahkan darah atau menumpahkan bangunan menjadi puing. Semuanya tolol.
Kau tahu, Genteng, kadang akal manusia hanya digunakan untuk membandingkan siapa yang sialnya lebih sial. Seperti adu keparahan tindak kriminal di penjara, si pembunuh membandingkan kebinalan tindakannya dengan si pemerkosa. 

Tanpa berpikir bahwa mereka sama-sama dungunya. Tetapi tidak usah jauh-jauh ke penjara, di layar ponsel juga terlalu banyak. Fasilitas publik yang rusak tidak lebih penting daripada tertumpahnya darah. Lalu orang lain akan membandingkan itu dengan genosida dimana lebih banyak nyawa yang melayang.

Selanjutnya, dinosaurus akan datang dengan membanggakan hujan meteor yang tidak hanya menghilangkan banyak nyawa, tetapi juga menyebabkan kepunahan spesiesnya. Eh, dinosaurus bukan manusia ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun