Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Terlupa dari Pandemi

9 Juli 2020   09:53 Diperbarui: 9 Juli 2020   11:13 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Virus Corona adalah frasa yang tentu tidak asing bagi warga dunia pada abad ke-21 ini (Kecuali bila ada warga impor dari planet lain). Virus yang sejak 11 Maret 2020 ditetapkan sebagai pandemi ini menimbulkan berbagai dampak. Yang paling disoroti tentu sektor perekonomian dan sektor kesehatan dimana virus ini bergumul. 

Pada sektor ekonomi, pemberitaan kebanyakan membicarakan mengenai bagaimana pandemi menghancurkan roda perekonomian terutama kepada para pekerja sektor informal. 

Sebetulnya tidak salah juga bila dikatakan sektor informal yang terganggu akan mempengaruhi perekonomian nasional secara keseluruhan, mengingat data dari Lokadata yang menyatakan pekerja Indonesia didominasi pekerja informal sebanyak 57.27% sedangkan pekerja formal sebanyak 42.73% pada 2019. 

Tentu beralasan sekali bila pemerintah mengkhawatirkan sektor ini. Sebab bila konsumsi pekerja sektor informal goyah, Pendapatan Nasional akan goyah juga. Hal ini bisa dilihat pada formula Pendapatan Nasional ini dimana Pendapatan Nasional dinotasikan dengan huruf Y

Y = C + I + G + (X-M)

Konsumsi pekerja informal termasuk ke dalam kategori C yang merupakan konsumsi masyarakat. Sehingga jika konsumsi turun, pendapatan nasional akan turun pula.

Tidak ada yang salah dengan cara orang-orang menyoroti dampak pandemi pada sektor ekonomi sebab kesejahteraan masyarakat memang jaminan pemerintah? Tetapi kenapa hanya fokus pada uang yang keluar dan masuk kantung saja? Bukannya kesejahteraan tidak dapat diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki seseorang? 

Kesejahteraan juga tidak memiliki tolok ukur yang sama tiap orangnya, sehingga pemberian insentif dengan nominal yang sama tidak menjamin kesejahteraan individu berada pada tingkat kesejahteraan yang sama pula.

Isu mengenai kesejahteraan yang seringkali tergelincir dari perhatian media adalah problematika kelompok marjinal. Bukan hanya orang-orang yang tidak memiliki rumah lantas mereka suka tidur di pinggir jalan atau di depan toko, bukan! Bukan hanya itu maksudku. Seseorang dapat disebut bagian dari kelompok marjinal ketika ia dianggap berbeda dengan orang kebanyakan. 

Kalau ada di lingkunganmu, orang dengan keterbatasan fisik sehingga dia kesulitan mengakses fasilitas publik, ia termasuk kelompok marjinal. Kalau juga ada di tempat tinggalmu orang yang berusia lanjut dan kesulitan menggunakan gawai atau tidak dapat mengakses informasi di internet seluwes anak muda, itu juga termasuk kelompok marjinal. Sayangnya, kelompok marjinal juga mencakup banyak kalangan lain yang tentu halaman ini tidak cukup untuk menjelaskannya.

Sebetulnya akan cukup melegakan bila kelompok-kelompok marjinal berspektrum sesempit penjelasanku di atas. Tetapi, nyatanya masih banyak lagi kelompok marjinal yang ada pada suatu komunitas. Oh, ya, transgender juga termasuk di dalamnya. Tentu stigma masyarakat dan norma-norma yang dianut di suatu komunitas lebih sering tidak menyambut baik kelompok ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun