Mohon tunggu...
Meity Estetika
Meity Estetika Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Budaya Politik dan Partisipasi Politik Indonesia Pada Masa Orde Baru

28 Agustus 2016   05:21 Diperbarui: 30 Agustus 2016   03:00 7622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kehidupan bernegara tentu tidak bisa lepas dari kehidupan politik karena makna dari politik itu sendiri adalah cara agar negara dan rakyatnya dapat mencapai tujuan bersama. Singkatnya, tujuan politik adalah untuk kehidupan yang baik. Dengan banyaknya rakyat Indonesia dari berbagai macam lapisan, tentu mempunyai kebutuhan yang berbeda pula. Maka di sinilah peran politik dibutuhkan.

Sebelum kita membahas mengenai budaya politik di Indonesia, mari kita mengenal dahulu apa itu pengertian budaya politik. Banyak para ahli yang mengungkapkan apa makna dari budaya politik dengan beragam definisi dan sudut pandang. Namun dari konsep-konsep tersebut tidak ditemukan derajat perbedaan yang begitu besar, sehingga tetap mempunyai pemahaman yang sama dan rambu-rambu yang sama.

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Atau bisa dibilang budaya politik adalah sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, pengambilan keputusan secara kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk kepentingan masyarakat seluruhnya.

Sedangkan partisipasi politik secara harfiah berarti partisipasi dalam konteks politik. Pada hal ini mengacu pada partisipasi warga dalam proses politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam semua tahap kebijakan, mulai dari saat membuat keputusan sampai keputusan penilaian, termasuk kesempatan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan keputusan.

Lalu bagaimana dengan kehidupan politik pada masa Orde Baru? Ketika era Orde Baru demokrasi dikekang, baik segala bentuk media dikontrol dan diawasi oleh pemerintah agar tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah. Awalnya Orde Baru berupaya untuk memperbaiki keadaan bangsa dan melakukan koreksi atas segala penyimpangan dan kebobrokan pada masa Orde Lama. Pada awalnya memang rakyat merasakan peningkatan dalam berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Namun lama-kelamaan terdapat berbagai penyimpangan dan parahnya adalah monopoli kekuasaan Presiden Soeharto. Sistem monopoli kekuasaan yang berpangkal pada Soeharto tersebut dapat dilihat bagaimana dominannya kekuasaan Soeharto pada masa pemerintahannya yang berlangsung lebih dari tiga dekade. Kelangsungan masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah terlepas dari peran mesin politik yang digerakkan oleh Soeharto yaitu Golongan Karya (Golkar). Untuk menambah dominasi kekuasaan politiknya, Soeharto juga menerapkan sistem Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI menerapkan bahwa Militer/ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidak lagi hanya bertugas sebagai lembaga yang berperan dalam ketahanan negara melainkan juga ikut ambil bagian dalam kekuasaan politik dengan menempatkan orang-orangnya di lembaga legislatif. Kekuasaan pada saat itu juga diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Soeharto. Secara tidak langsung birokrasi pada masa Orde Baru didominasi oleh orang-orang yang memiliki loyalitas terhadap Soeharto. Selama lebih dari tiga puluh tahun, bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang menganut sistem politik otoriter. Kekuasaan Orde Baru menjadi kekuasaan otoriter yang memakai embel-embel demokrasi. Penafsiran pasal-pasal UUD 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan isi yang tertuang dalam UUD tersebut, melainkan dimanipulasi demi kepentingan sang penguasa. Hal itu terbukti dengan adanya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tentang P4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan Orde Baru (Andriani Purwastuti, 2002:45).

Eep Saefullah Fatah menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah oxymoron: dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya, keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari intervensi militer. Pada zaman Soeharto, militer mendominasi di berbagai bidang. Warga dibatasi dalam mengemukakan aspirasi, media massa bahkan dikekang habis-habisan. Jika saja ada yang memuat berita tentang bobroknya pemerintah pada saat itu, maka izin penerbitan medianya akan dicabut oleh pemerintah. Banyak media massa yang mengalaminya seperti majalah berita Tempo, Ekspres, koran Indonesia Raya, Sinar Harapan dan sebagainya. Akhirnya masyarakat hanya memperoleh informasi di luar berita “seharusnya” yang telah melewati tahap sensor, baik oleh Departemen Penerangan maupun oleh media itu sendiri. Media hanya diperbolehkan untuk mempublikasikan kebaikan dan keberhasilan pemerintah, sementara borok dan dosa pemerintah disembunyikan sehingga rakyat menjadi buta akan informasi.

Banyak tokoh-tokoh yang dipenjara karena aspirasinya yang dianggap mencoreng nama pemerintah. Bahkan jika ada rakyat yang melakukan penyimpangan, pihak militer tidak akan segan-segan untuk turun tangan. Selama pemerintahan Soeharto nyaris tidak ada unjuk rasa, rakyat takut melakukannya karena orang yang melakukan unjuk rasa tiba-tiba hilang keesokan harinya. Saat itu juga dikenal istilah Petrus (Penembak Misterius) yang tugasnya mengeksekusi orang-orang yang dianggap berbahaya dan mengganggu stabilitas negara. Ini adalah cara Soeharto dalam menjaga kestabilan negaranya dengan memanfaatkan kekuatan militer untuk menumpas habis semua orang yang dianggap membahayakan kekuasaannya.

Soeharto berkuasa terhadap hasil pemilu yang diadakan antara tahun 1971 sampai 1997. Ketika pemilu pada tahun 1975, pemilu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, di mana dilakukan fusi partai-partai politik menjadi hanya dua partai (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya. Pemilu-pemilu ini semuanya dimenangkan oleh Golongan Karya. Pada masa itu presiden masih dipilih oleh parlemen. Karena MPR dan DPR yang didominasi oleh orang-orang Soeharto dan militer, akhirnya membuat Soeharto terpilih kembali menjadi presiden dalam waktu lima tahun berikutnya. Meskipun UUD 1945 sebelum amandemen membatasi kekuasaan presiden hingga dua periode, rezim Orde Baru melakukan penafsiran subyektif terhadap anak kalimat dalam Pasal 7 konstitusi yang berbunyi, “… dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” sehingga Soeharto dipilih kembali secara berturut-turut oleh MPR hingga tujuh kali masa jabatan.

Kenapa Golongan Karya bisa terus memenangkan pemilu berturut-turut? Pada saat itu meskipun pemilu terlaksana secara teratur setiap lima tahun, tetapi demokrasi belum berjalan sepenuhnya. Pemilu justru dipenuhi oleh kecurangan dan bersifat seolah-olah hanya sebagai formalitas dan sebagai informasi kepada dunia luar bahwa Indonesia telah melaksanakan pemilu dan praktik demokrasi. Puncaknya adalah saat pemilu tahun 1997 yang ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar. Golkar satu-satunya peserta pemilu yang didukung secara finansial maupun secara politik oleh pemerintah untuk memenangkan pemilu dengan meraih suara terbanyak. Berbagai cara Soeharto lakukan untuk mempertahankan kekuasaannya dengan memenangkan Golkar dalam setiap pemilu, salah satunya dengan cara intimidasi. Lembaga-lembaga penyelenggaraan pemilu didominasi oleh pemerintah dan Golkar. Pegawai negeri diharuskan memilih Golkar dengan cara menempatkan tempat pemungutan suara (TPS) di kantor-kantor pemerintah.

Kini hampir tidak ada lagi ciri-ciri politik otoriter seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Setelah Pemilu 1999 dan sejak diamandemennya UUD 1945, praktik demokrasi sudah mulai berjalan sebagaimana mestinya. Pemilu dilakukan dengan LUBERJURDIL. Indonesia sudah memasuki era Reformasi di mana politiknya berbeda secara struktural dengan politik Orde Baru. Proses politik pemerintah sudah memasuki rezim demokratis dengan partisipasi rakyatnya yaitu partisipasi aktif.

**********

Sumber:

Haris, Syamsuddin. 2014. Partai, Pemilu, dan Parlemen: Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

http://www.artikelsiana.com/2015/08/budaya-politik-pengertiani-ciri-macam-para-ahli.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_politik#Budaya_politik_yang_berkembang_di_indonesia

http://tatangsinaga21.blogspot.co.id/2012/10/transisi-politik-menuju-demokrasi.html

http://pknmansa-11.blogspot.co.id/2014/03/partisipasi-politik.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto

http://www.kompasiana.com/stefanusyohanes/praktik-komunis-di-era-soeharto_55e6a3ad6e7a61680773162d

https://sefasdesak.wordpress.com/2011/05/10/perbandingan-partisipasi-politik-zaman-orde-baru-dengan-era-reformasi/

http://visualheritageblog.blogspot.co.id/2013/05/partisipasi-politik-pola-perilaku.html

**********

Minggu, 28 Agustus 2016

Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Politik jurusan Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya.

Nama: Meity Estetika

NIM: 07041281621181

Kelas/Kampus: Kelas A Hubungan Internasional / Kampus Indralaya

Pembina: Ibu Nur Aslamiah Supli, BIAM,M.Sc.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun