“Coba Pak, si Meta bilang LGBT itu bukan penyakit.” Kata dokter umum pada manager klinik. “Saya jadi curiga. Dia ni umur segitu belum nikah, punya pacar juga enggak. ”
Sebelum Pak manajer datang, aku dan dokter sedang berbincang mengenai obat-obatan yang kemudian tidak tau berawal dari mana tiba-tiba aku bercerita tentang isu surat dari dokter jiwa di Amerika untuk ikatan dokter jiwa di Indonesia.
Buset dah si dokter, gue udeh ngomong panjang lebar. Dia salah tangkep coba.
“Ya Tuhan, saya kan cuma cerita itu ikatan dokter jiwa Indonesia disuratin sama Amerika. Yang orang Amerika itu mau ngoreksi omongannya Indonesia yang bilang LGBT itu mental disorder. Orang Amerika bilang kalau LGBT itu bukan mental disorder. Trus salah gue dimana?” tanyaku menggebu-gubu.
“Kieu Mei.” Kata manajer mencoba menengahi. “Kamu setuju gak sama LGBT?”
“Gue abstain.” Kataku.
“Gak bisa. Kamu harus punya sikap.” Kata manajer. "LGBT itu gak bener..."
“Masalahnya Pak, kita gak bisa mengesampingkan kalau mungkin memang ada lho orang yang punya bawaan menyimpang kayak gitu.” Kataku.
“Nah tu Pak, dia bilang mungkin emang ada orang yang bawaan LGBT.” Kata dokter lagi seolah menyerangku.
“Apa salahnya saya bilang kayak gitu?” tanyaku lagi.
Aku gak tau sih, ini antara aku yang terlalu banyak ketemu orang atau mereka yang terlalu baku. Dulu aku sempat ikut kegiatan di BKKBN Jogja dan aku banyak terlibat dengan orang-orang LGBT. Aku juga baca bukunya Dr. Dede Oetomo yang berjudul Memberi Suara Pada yang Bisu. Da emang ada orang yang bawaannya berperilaku menyimpang seperti itu.