Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sekolah Mahal Vs Sekolah Murah

22 Februari 2020   16:57 Diperbarui: 22 Februari 2020   16:55 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah! (dokumentasi pribadi)

Selalu menarik kalau aku mengenang masa-masa SMAku. Masa-masa di mana aku baru bisa memikirkan hal lain selain pelajaran. Masa-masa di mana terjadi pertemuan antara logika berfikir yang diajarkan oleh bapakku dan kewajiban 'patuh' yang mencoba ditawarkan oleh sekolah.

Jujur sih, aku tidak menikmati masa sekolahku seperti masa kuliahku. Pengalamanku di masa sekolah membuatku yakin untuk menerapkan homeschooling pada anakku nanti. Buatku, sekolah adalah beban. Seperti tagline yang ada di buku Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah!.

Buku tersebut bukan berisi keluhan tentang biaya sekolah yang tidak terjangkau. Ya ada sih bab-bab yang membicarakan tentang uang sekolah. Namun secara keseluruhan buku ini mengungkap sisi 'kelam' dari pendidikan di Indonesia dalam sebuah komik. Dalam kata pengantar penulisnya, Eko Prasetyo, dikatakan bahwa buku ini menerjang pemahaman naif tentang pendidikan. Sekolah bukanlah tempat yang selamanya menyenangkan walaupun tidak buruk.

Hal pertama yang dibahas dalam buku ini adalah sekolah yang penuh dengan aturan: nggak boleh gaduh, nggak boleh hura-hura, harus rapi, dan jangan protes! Lalu bahasan tentang sekolah yang penuh dengan pekerjaan. Teman-teman saat sekolah pasti akrab dengan PR.

Buku ini kemudian membandingkan fasilitas yang didapat bila seorang anak bersekolah di sekolah mahal dan sekolah murah. Perbandingan tersebut bukan hanya fasilitas berupa gedung dan sarana tapi juga tenaga pengajarnya. Dari sinilah kemudian aku menemukan bagaimana orang bisa memiliki stigma bahwa sekolah bermutu harus mahal.

Salah satu halamannya, membandingkan pelajaran musik di sekolah mahal dan sekolah murah. Di sekolah mahal tersedia berbagai alat musik untuk dimainkan oleh anak-anak. Di sekolah murah, anak-anak hanya bermain suling milik gurunya. Itupun harus bergantian.

Ini mengingatkanku pada masa sekolahku.

Aku bersekolah di sekolah negeri yang tidak murah. Sekolah kami memiliki sebuah studio musik modern dengan alat musik yang lengkap. Selama bersekolah, aku tidak benar-benar belajar memainkan alat-alat musik itu. Sekali waktu, gurunya memperlihatkan kami cara memainkan alat-alat musik tersebut. Tapi aku jelas tidak langsung bisa bermain drum hanya dengan menonton orang memainkan drum kan?

Alat musik yang sering diajarkan untuk dimainkan adalah suling. Pelajaran musik hanya 1 jam seminggu. Aku belajar memainkan keyboard dengan les dan tahu bermain gitar dari adikku. Dan ujian akhir sekolahku, aku harus membentuk sebuah band dengan 4 atau 5 orang teman lainnya. Guru pelajaran musik bersedia mengajari kami bermain layaknya sebuah band dengan membayar 20 ribu per 2 jamnya.

Dulu aku tidak berpikir macam-macam sih. Toh aku bisa kalau sekadar memainkan keyboard dan gitar dengan sederhana. Mama tidak keberatan ketika aku minta uang untuk berlatih band walaupun dengan agak mengomel. Ketika ada seorang teman yang tidak sanggup membayar uang latihan itu, aku tidak masalah ikut urunan membayari teman itu.

Setelah membaca buku Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah! Ini aku baru berpikir bahwa apa yang dilakukan guruku waktu itu tidak adil. Kami tidak pernah belajar memainkan alat-alat musik modern itu kenapa ujiannya seperti itu? Kenapa ujiannya bukan main suling saja? Itu sih ya, memang terlalu banyak membaca kadang-kadang membuat racun.

Sebagai penutup, buku ini menampilkan surat dari seorang ibu pada putra tengahnya yang tinggal di rumah pojok yang sangat sederhana. Ibu dan suaminya ini berusaha bekerja keras dan menjual apa saja yang mereka punya demi membiayai sekolah ketiga anaknya. Sang Ibu sampai curiga kalau sekolah memberi sumbangan bagi meningkatnya kemiskinan.

Aku ingin sekali berkata bahwa dunia ini menyedihkan. Sayangnya, di tulisan-tulisan karya Malcolm Gladwell, aku membaca upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Amerika maupun orang-orang kaya untuk membantu warga miskin mendapat pendidikan. Mereka membuat program yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan bisa terukur hasilnya.

Jadi kurasa, bukan dunia yang menyedihkan.

Data Buku 

Judul:Pengumuman, Tidak Ada Sekolah Murah!

Penulis: Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa

Penerbit: Resist Book

Tahun terbit: 2005

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun