Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Buku Best Seller Perlu Distandardisasi

16 Januari 2020   13:30 Diperbarui: 16 Januari 2020   15:03 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi buku best seller (sumber: pxhere.com)

"Mbak, bukunya dia itu udah laku berapa sih emangnya?" tanyaku pada seorang teman di sebuah group belajar menulis. Melalui pesan Whatsapp.

 "Embuh," jawabnya singkat.

"Katakanlah aku iri yah," ujarku. "tapi kayaknya nggak sampai 5000 eks, deh."

"Emang kenapa?" tanya temanku balik.

"Buku dia di covernya ada label best sellernya," jawabku.

"Hah? Tenane?"

Saat itu aku sedang scrolling di Instagram. Aku melihat sebuah buku yang ditulis oleh orang yang aku kenal mencantumkan kata-kata best seller di sampulnya. Yang kemudian membuatku julid adalah karena buku itu baru sebulan terbit. Memang saat pre-order, penerbitnya bilang, buku tersebut sudah terjual 100 eks. Namun apakah kemudian bisa saat dicetak langsung mencantumkan label best seller?

Kami kemudian sibuk membandingkan distribusi buku orang yang kami perbincangkan dengan buku-buku berlabel best seller yang diterbitkan oleh penerbit besar seperti Gramedia Pustaka Utama dan Bentang. Sepertinya, buku yang aku lihat di Instagram itu best seller di perusahaan penerbitnya. Tidak bisa dibandingkan dengan buku dari penerbit lain. Buku tersebut juga dijualnya secara daring. Tidak masuk toko buku.

Tapi apakah menjadi best seller di penerbitnya sendiri lantas bisa memberikan label best seller pada sampul bukunya? Bagaimana ketika disandingkan dengan buku dari penerbit lain? Buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, misalnya. Tidak perlu membicarakan kualitas. Secara kuantitas apakah sebanding jumlah penjualannya?

Saat ini, Penerbit Buku Mojok sedang mengadakan pre-order buku kedua karya Amanatia Junda, Kepergian Kedua. Buku pertama karya Amanatia Junda yang berjudul Waktu Untuk tidak Menikah, (dalam product knowledge yang dikeluarkan oleh Buku Mojok untuk resellernya) dikatakan sebagai salah satu buku best seller di Buku Mojok. Tapi setahuku, sampul buku tersebut tidak ada label best seller.

Sepertinya, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk bisa mencantumkan label best seller dalam sebuah sampul buku. Dalam sebuah lokakarya membaca nyaring yang diadakan di Perpustakaan Kota Bekasi, Ibu Roosie Setiawan, pematerinya, menyinggung bahwa sebuah buku di penerbit tertentu dikatakan best seller bila setiap bulannya berhasil terjual 1.000 eks selama setahun.

Kesimpulanku, kalau sebuah buku sudah melampaui penjualan sampai 10.000 eks sebelum setahun terbit maka bisa dikatakan sebagai best seller. Tapi apakah demikian?

Sejak 2 hari yang lalu, aku berusaha untuk mencari tahu seperti apa kriteria atau syarat sebuah buku pantas menyandang gelar best seller. Sayangnya, aku tidak menemukan jawaban yang memuaskan dan terbaru. Sebuah artikel yang membahas tentang label best seller pada buku aku temukan di laman tirto.id bertanggal 3 September 2016.

Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa Indonesia tidak memiliki asosiasi khusus untuk membuat standar best seller sebuah buku. Aturan best seller di Indonesia dibuat dengan standar masing-masing penerbit.

Oke. Baiklah. Jadi pelabelan best seller terhadap sebuah buku ditetapkan oleh masing-masing penerbit. Jadi, kasus buku yang aku bicarakan di paragraf awal itu tidak salah. Bisa saja nanti ada sebuah penerbit yang melabeli semua buku yang diterbitkannya sebagai best seller. Kan standarnya dibuat masing-masing penerbit. Tapi apakah secara etika bisa diterima?

Apakah kemudian ini adil jika dibandingkan dengan penulis yang bukunya diterbitkan oleh Gramedia, misalnya. PT. Gramedia Pustaka Utama menyatakan bahwa buku terbitan mereka dinyatakan best seller bila dalam jangka waktu 3 bulan bisa cetak ulang minimal 3.000 eksemplar.

Tirto.id kemudian menceritakan bagaimana buku-buku di Inggris mendapatkan label best seller-nya. Di Inggris, ada sebuah asosiasi marketing yang sengaja menyurvey penjualan buku di jaringan toko buku terpercaya. Bila ada seorang penulis yang membeli sendiri buku karyanya di beberapa toko buku, maka sematan best sellernya akan didiskualifikasi. Mereka menetapkan best seller sebuah buku hard cover dengan angka penjualan 4.000 sampai 25.000 eksemplar per minggu.

Mengapa penulis yang membeli bukunya sendiri didiskualifikasi?

Penulis yang bukunya berlabel best seller, namanya akan melambung. Dia akan diundang ke beragam acara. Belum lagi dia akan ditunjuk untuk menjadi mentor di sana-sini. Kalau penulis membeli bukunya sendiri, penilaian akan menjadi bias.

Selain faktor penulis, label best seller juga penting untuk meningkatkan penjualan buku tersebut. Pengunjung toko buku yang belum punya ide untuk membeli buku apa, pasti akan menghampiri rak buku best seller untuk mengetahui bacaan seperti apa yang sedang tren. Dan buku di rak best seller itu akan lebih besar peluangnya untuk dibeli.

Karenanya, standar best seller perlu dibuat aturan bakunya. Kurasa, di sini pun perlu ada standar dalam melabeli sebuah buku sebagai best seller.

Tapi di negeri ini, yang perpustakaan penyedia buku gratis saja belum diminati oleh banyak orang, sepertinya urusan semacam ini belum jadi prioritas. Penulis yang bukunya diterbitkan oleh penerbit mayor lebih berjuang bagaimana supaya bukunya tidak dibajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun