Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merenungi Sejarah Hari Ibu

24 Desember 2019   10:46 Diperbarui: 24 Desember 2019   11:27 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hari ibu (sumber pxhere.com)

Kemarin, tanggal 22 Desember 2019, diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Di media sosial, banyak orang mengucapkan selamat hari ibu sambil memasang foto ibunda mereka atau istri mereka. Iklan di Instagram pun bertabur ucapan selamat hari ibu. Beberapa restoran dan toko memberikan diskon khusus untuk hari ibu ini.

Namun pagi ini, sebuah artikel menyadarkanku pada sesuatu. Artikel tersebut berjudul "Hari Ibu Bukan Ajang Pansos, Maaf, Ini Bukan Kata-kata Manis". Dalam artikel tersebut, penulisnya, Kokok Dirgantoro, mengatakan bahwa pada Hari Ibu, seharusnya orang-orang sadar bahwa perempuan belum merdeka. Banyak perempuan yang dilecehkan, diperkosa, dan tidak mendapat cuti hamil yang memadai. Banyak perempuan yang putus akses pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.

Artikel ini mengingatkanku pada sebuah cerita yang aku baca tentang Hari Ibu di Amerika. Hari ibu di Amerika dipopulerkan oleh Anna Jarvis. Pada Hari Ibu tahun 1850, Anna Jarvis mendirikan sebuah kelompok kerja yang mengemban misi untuk memperbaiki sanitasi, menekan angka kematian bayi dengan melawan penyakit, dan mengurangi pencemaran pada susu.

Pada tahun 1870, seorang komposer bernama Julia Ward Howe menerbitkan "Proklamasi Hari Ibu". Proklamasi tersebut meminta perempuan untuk bisa mengambil peran politik aktif dalam mempromosikan perdamaian.

Di Twitter, aku membaca seseorang yang membagikan 6 kesepakatan Kongres perempuan Indonesia pertama yang diselenggarakan pada 22 -- 25 Desember 1928. Kongres ini merupakan cikal bakal hari Ibu yang kita rayakan setiap tahunnya.

Enam kesepakatan itu adalah membina perikatan Perempuan Indonesia, menggalang beasiswa untuk perempuan, memperkuat pandu putri (soal pakaian terserah orangnya sendiri), mencegah perkawinan anak, mosi pada pemerintah soal perlindungan perempuan, dan mosi ke majelis agama agar janji nikah dikuatkan dengan surat. Ini adalah kesepakatan Kongres Perempuan Indonesia 91 tahun lalu.

Kayaknya, kalau kesepakatan ini digaungkan kembali masih relevan ya? Sayang sekali ketika kondisi belum bisa dikatakan berubah, Hari Ibu sudah berubah menjadi perayaan yang sifatnya konsumerisme.

Ini bukan baru terjadi, kok. Dulu, tahun 1925, Anna Jarvis juga memprotes Hari Ibu yang dikomersilkan. Dia memprotes Ibu Negara Eleanor Roosevelt yang menggunakan Hari Ibu untuk mengumpulkan dana amal. Dia memprotes organisasi yang menggunakan Hari Ibu untuk penjualan anyelir.

Lalu apakah salah kalau kita memberi bunga dan hadiah pada ibu kita sendiri? Of course not! Ibu kita berhak atas apa yang kita berikan padanya. Namun apakah kita berkata-kata indah pada ibu hanya setahun sekali? Apakah kita mengenang kebaikan-kebaikan ibu kita hanya setahun sekali? Bagi anak-anak rantau, apakah menelpon ibumu hanya setahun sekali? Oh, ayolah....

Ada hal yang harus disadari oleh khalayak selain tentang kebaikan ibu kita sendiri. Apakah semua ibu sudah hidup dengan layak? Apakah semua ibu sudah mendapatkan haknya? Dari suaminya? Dari anaknya? Dari tempat kerjanya? Dari lingkungannya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun