Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Polemik Obat ARV dan Manajemen Pengadaannya

5 November 2019   17:51 Diperbarui: 5 November 2019   17:52 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi obat (sumber pxhere.com)

Tanggal 29 Oktober 2019 kemarin, tirto.id membahas tentang obat ARV (Antiretroviral) yang digunakan untuk memperlambat perkembangan HIV di laporan indepthnya. Salah satu tulisan yang dirilis terkait ini berjudul "Rapor Merah Penanganan HIV dan Dugaan Korupsi ARV".

Laporan ini dibuka dengan cerita seorang ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang biasanya mendapatkan ARV kombinasi Tenofovir, Lamivudin, dan Efavirenz (TLE) dalam bentuk Fixed Dosed Combination (FDC) yang hanya perlu diminum 1 butir sekali, kini mendapatkan obat yang bentuknya pecahan. Obat tersebut adalah Tenofovir 1 butir, Lamivudin 2 butir, dan Evavirenz 1 butir. Alhasil, dia jadi lebih ribet mengingat jadwal minum yang harus dibagi siang-malam.

Sayangnya, obat pecahan ini menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan pada pasien. Beliau mengalami pusing dan ruam kulit. Ketika kontrol, beliau mendapatkan kembali ARV kombinasi yang bentuk FDC. Pasien diberitahu oleh petugas bila ARV kombinasi yang bentuk FDC stoknya hanya sedikit sekali.

Kok bisa?

Untuk menjawabnya, reporter tirto.id mengajak pembaca untuk mengalihkan perhatian pada sistem pengadaan obat ARV ini. FDC TLE diproduksi perusahaan farmasi di India. Pemasarannya di Indonesia dilakukan secara tunggal oleh PT Kimia Farma. Per Juli 2018, PT Indofarma Global Medika mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Merek dagangnya Telura. Diproduksi PT Mylan, India.

Pada tahun 2018, PT Kimia Farma dan Indofarma tak sepakat dengan harga yang ditawarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pemenang juga tak didapat saat Kemenkes menggelar lelang terbatas. 

Jadilah terdapat kelangkaan stok. Untuk menyikapi ini, Kemenkes membeli ARV bentuk pecahan dengan harga di atas pasaran internasional. BUMN farmasi tersebut menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara Kemenkes tidak punya jalan lain karena obat harus terus tersedia.

Oktober 2018 lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut indikasi kasus dugaan korupsi penggelembungan dana pengadaan obat HIV/AIDS oleh PT Kimia Farma Trading & Distribution terkait tender di Kementerian. Juli lalu, kasus ini masih belum berkembang jauh. Kejagung fokus pada dugaan korupsi pengadaan obat, vaksin, dan perbekalan kesehatan atau penyediaan obat AIDS dan PMS tahap I pada Kemenkes tahun anggaran 2016.

Di laporan lain yang berjudul "Obat ARV Senilai Rp 2,8 Miliar Kadaluarsa di Tangan Kemenkes" yang dirilis pada 31 Oktober 2019, diceritakan beberapa orang ODHA mendapatkan obat ARV pecahan yang nyaris kadaluarsa. Ada seorang pasien yang mendapatkan obat dengan bulan kadaluarsa pada Juni. Padahal dia mendapatkan obat tersebut pada bulan Juni.

Pihak puskesmas mendapat instruksi kalau mereka memang diminta atasannya untuk mengeluarkan obat pecahan yang hampir kadaluarsa itu terlebih dahulu. Bila sudah habis, maka pasien baru diberi FDC. Namun ketika Tirto.id konfirmasi ke Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes, mereka membantahnya.

Padahal, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap penatausahaan dan cek fisik Tim BPK per tanggal 12 Maret 2019, terdapat obat ARV jenis EFV 600mg yang kedaluwarsa senilai Rp2.857.275.000. Rinciannya, terdiri dari 14.940 botol yang harga beli per botolnya Rp191.250, dan tanggal kedaluwarsa 1 Maret 2019.

Yang aku tangkap dari 2 laporan tirto.id ini, ada masalah di masyarakat: ada pasien yang mendapatkan obat (hampir) kadaluarsa dan ada pasien yang mendapatkan obat yang tidak efisien (seharusnya pasien bisa mendapat sediaan sekali minum namun harus mendapat ARV pecahan). Pangkal masalahnya adalah kurang baiknya manajemen obat ARV mulai dari perencanaan (sehingga terlalu banyak stok yang hampir kadaluarsa) dan pengadaannya (gagal tender dan korupsi).

Laporan indepth tirto.id ini membuatku teringat pada mata kuliah manajemen obat. Pertama, kita harus paham dulu bahwa obat bukan komoditas biasa. Dia memiliki tanggal kadaluarsa, waktu dimana petugas kesehatan tidak bisa lagi memberikan obat itu pada pasien. Namun dia juga bukan makanan yang kalau sudah dekat waktu kadaluarsanya bisa kita berikan banyak-banyak pada pasien.

Semestinya, petugas yang terlibat dalam manajemen pengadaan obat ARV ini lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan sampai masyarakat yang terkena imbas pekerjaan yang tidak hati-hati.

Mengapa manajemen obat itu penting? Pertama, karena obat adalah perantara kesembuhan pasien. Ketersediaan obat-obat ini berpengaruh dengan kesehatan pasien. Apalagi ODHA yang seharusnya tidak boleh putus obat. Kedua, manajemen obat yang buruk, apalagi pengadaan obat secara nasional, membuat pemborosan (dalam kasus ini 2,8 milliar sia-sia karena obatnya kadaluarsa).

Memang harus diakui, pengadaan obat, apalagi secara nasional, bukan hanya masalah fasilitas kesehatan dan pasien. Ini menyangkut juga kepentingan politik dan ekonomi juga. Kita tidak bisa menafikan bahwa bisnis yang menyangkut nyawa itu menjanjikan. Apalagi obat yang harus diminum seumur hidup macam obat ARV.

Masih dari tirto.id, estimasi ODHA pada tahun 2016 sebanyak 640.443, sedangkan yang dilaporkan sampai dengan Juni 2019 sebanyak 349.882 atau sebesar 60,7 persen. Selama ini Kimia Farma menjual FDC dengan harga Rp404.370 sementara Indofarma dengan harga Rp385 ribu per paket. Padahal harga obat ini di pasaran internasional hanya berkisar di angka Rp112 ribu.

Berdasarkan hitungan yang dilakukan Indonesia AIDS Coalition (IAC) tahun 2016, seharusnya harga ARV di pasaran berkisar Rp175 ribu saja. IAC merupakan koalisi relawan peduli ODHA yang memantau jumlah distribusi ARV di Indonesia. Hitungan ini didasarkan pada harga ARV dari Global Fund sebesar Rp105ribu dengan asumsi bea masuk, asuransi dan gudang masing-masing sebesar 5 persen, bunga bank 1,50 persen, biaya distribusi 10 persen, margin perusahaan 20 persen, dan PPN 10 persen.

Untuk bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai khusus untuk bahan baku ARV sebenarnya juga sudah dihapus lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/KMK.010/2005. Seharusnya dengan kebijakan itu harga bisa lebih murah.

Tapi ya, entahlah. Aku hanya bisa berdoa, orang-orang di pemerintahan tidak mematahkan harapan ODHA yang hidupnya bergantung pada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun