Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Polemik Obat ARV dan Manajemen Pengadaannya

5 November 2019   17:51 Diperbarui: 5 November 2019   17:52 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi obat (sumber pxhere.com)

Yang aku tangkap dari 2 laporan tirto.id ini, ada masalah di masyarakat: ada pasien yang mendapatkan obat (hampir) kadaluarsa dan ada pasien yang mendapatkan obat yang tidak efisien (seharusnya pasien bisa mendapat sediaan sekali minum namun harus mendapat ARV pecahan). Pangkal masalahnya adalah kurang baiknya manajemen obat ARV mulai dari perencanaan (sehingga terlalu banyak stok yang hampir kadaluarsa) dan pengadaannya (gagal tender dan korupsi).

Laporan indepth tirto.id ini membuatku teringat pada mata kuliah manajemen obat. Pertama, kita harus paham dulu bahwa obat bukan komoditas biasa. Dia memiliki tanggal kadaluarsa, waktu dimana petugas kesehatan tidak bisa lagi memberikan obat itu pada pasien. Namun dia juga bukan makanan yang kalau sudah dekat waktu kadaluarsanya bisa kita berikan banyak-banyak pada pasien.

Semestinya, petugas yang terlibat dalam manajemen pengadaan obat ARV ini lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan sampai masyarakat yang terkena imbas pekerjaan yang tidak hati-hati.

Mengapa manajemen obat itu penting? Pertama, karena obat adalah perantara kesembuhan pasien. Ketersediaan obat-obat ini berpengaruh dengan kesehatan pasien. Apalagi ODHA yang seharusnya tidak boleh putus obat. Kedua, manajemen obat yang buruk, apalagi pengadaan obat secara nasional, membuat pemborosan (dalam kasus ini 2,8 milliar sia-sia karena obatnya kadaluarsa).

Memang harus diakui, pengadaan obat, apalagi secara nasional, bukan hanya masalah fasilitas kesehatan dan pasien. Ini menyangkut juga kepentingan politik dan ekonomi juga. Kita tidak bisa menafikan bahwa bisnis yang menyangkut nyawa itu menjanjikan. Apalagi obat yang harus diminum seumur hidup macam obat ARV.

Masih dari tirto.id, estimasi ODHA pada tahun 2016 sebanyak 640.443, sedangkan yang dilaporkan sampai dengan Juni 2019 sebanyak 349.882 atau sebesar 60,7 persen. Selama ini Kimia Farma menjual FDC dengan harga Rp404.370 sementara Indofarma dengan harga Rp385 ribu per paket. Padahal harga obat ini di pasaran internasional hanya berkisar di angka Rp112 ribu.

Berdasarkan hitungan yang dilakukan Indonesia AIDS Coalition (IAC) tahun 2016, seharusnya harga ARV di pasaran berkisar Rp175 ribu saja. IAC merupakan koalisi relawan peduli ODHA yang memantau jumlah distribusi ARV di Indonesia. Hitungan ini didasarkan pada harga ARV dari Global Fund sebesar Rp105ribu dengan asumsi bea masuk, asuransi dan gudang masing-masing sebesar 5 persen, bunga bank 1,50 persen, biaya distribusi 10 persen, margin perusahaan 20 persen, dan PPN 10 persen.

Untuk bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai khusus untuk bahan baku ARV sebenarnya juga sudah dihapus lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/KMK.010/2005. Seharusnya dengan kebijakan itu harga bisa lebih murah.

Tapi ya, entahlah. Aku hanya bisa berdoa, orang-orang di pemerintahan tidak mematahkan harapan ODHA yang hidupnya bergantung pada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun