Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tahun Berganti, Masa Berlalu, Kebijakan Sudah Berubah, Namun Mereka Masih Gitu-gitu Saja

26 Oktober 2019   09:36 Diperbarui: 26 Oktober 2019   09:44 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jam (sumber pxhere.com)

Akhirnya, aku selesai membaca buku Manusia Indonesia' yang berisi ceramah dari Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki beserta dengan tanggapan dan tangapan dari tanggapannya. 

Ceramah dari Mochtar Lubis sendiri bertajuk "Kondisi dan Situasi Manusia Indonesia Kini, Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai Manusia". Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis yang juga seorang sastrawan.

Inti dari ceramah tersebut adalah, beliau mengatakan tentang ciri manusia Indonesia. Secara fisik, manusia Indonesia itu tidak mengecewakan. Banyak pengamat di luar negeri yang memuji kecantikan tubuh dan raut muka wanita Indonesia. Lelaki Indonesia juga cukup tampan. 

Secara sifat, Mochtar Lubis menjelaskan 6 ciri yang penting untuk diperhatikan yaitu munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya pada takhayul, memiliki bakat artistik, dan berwatak lemah. 

Selain 6 ini, Mochtar Lubis juga membicarakan sifat lain seperti boros, suka sesuatu yang instan, penggerutu, punya rasa humor yang baik, cepat belajar, dan beberapa lainnya.

Apa yah rasanya setelah menyelesaikan membaca buku tersebut? Campur aduk gitu. Ada sesuatu yang menggugah gitu karena aku adalah manusia Indonesia yang punya berwatak lemah, kurang sabar, penggerutu, dan suka bermalas-malasan. 

Ada rasa sedih juga karena merasa manusia Indonesia dari tahun 1977 kok nggak berbeda dengan yang saat ini ada. Lucu juga membaca Mochtar Lubis 'menguliti' persepsi orang tentang manusia Indonesia sejak jaman VOC hingga tahun 1977 itu.

Bagian yang paling menarik dari buku ini adalah tanggapan ceramah Mochtar Lubis dari Wildan Yatim yang dimuat di koran Kompas edisi 24 Mei 1977. FYI, Wildan Yatim adalah seorang pengajar dan juga seorang sastrawan. Setidaknya, ada 2 hal yang menurut Wildan harus dibenahi supaya manusia Indonesia itu memiliki sifat yang baik.

Wildan Yatim membenarkan kata-kata Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia itu suka korupsi, bermalas-malasan, melepaskan tanggung jawab, asal bapak senang, feodal, dan yang lainnya. Tapi, sifat itu terjadi di tubuh aparat pemerintah. 

Ya kalau rakyat jelata kayak aku mau korupsi, uang siapa coba yang aku korupsi? Kalau malas-malasan, bisa dikutuk jadi babi (baca: rumah berantakan dan badan menggendut tidak terkendali).

Menurut Wildan Yatim, yang pertama harus dibenahi pada waktu itu adalah sistem pemilihan umum. Pada masa itu, hanya sepertiga anggota MPR yang dipilih rakyat lewat Pemilu, selebihnya diangkat oleh presiden. Jadi, wakil rakyat belum dapat dianggap betul-betul membawa suara rakyat. 

Jadi, orang yang diangkat sebagai anggota dewan harus bersikap 'asal bapak senang'. Kalau ada yang korupsi ya diam-diam saja atau malah ikutan korupsi. Yang penting, posisi dia di dewan aman.

Di masa ini, pada pemilihan umum tahun 2019, rakyat sudah mendapat kesempatan untuk memilih wakilnya sendiri. Masyarakat memilih wakil mereka mulai di tingkat kota/ kabupaten hingga tingkat pusat. 

Tapi, tetap saja orang-orang yang masuk anggota dewan ini sebagian belum bisa dikatakan mewakili rakyatnya. Tetap saja yang menjadi anggota dewan adalah orang-orang yang membuatku berkata, "kenapa orang ini bisa jadi anggota DPR, sih?".

Sampai-sampai, Kang Hasan, seorang penulis, mengatakan di status Fbnya "konsekuensi demokrasi adalah adanya pelakor, tukang kawin, pembenci, koruptor, dan lain-lain jadi pejabat negara, jadi penentu arah perjalanan bangsa."

Salah satu cara membasmi tabiat buruk yang bersarang dalam tubuh aparat pemerintahan, menurut Wildan Yatim, adalah dengan pendidikan. Pada tahun 1977 itu, hanya sekitar 6-7% dari APBN yang disalurkan untuk pendidikan. 

Idealnya, anggaran pendidikan itu 25 -- 30% dari APBN. Dengan pendidikan yang baik, masyarakat bisa mandiri dan kritis terhadap penyelewengan yang dilakukan aparat pemerintah.

Saat ini, kita bisa lihat dari situs visual.kemenkeu.go.id, bahwa APBN yang disalurkan untuk pendidikan sudah sampai di angka 20% dari APBN. Belum sampai 25% seperti seideal yang Wildan Yatim katakan. Namun jelas lebih banyak dari pada tahun 1977. 

Sayangnya, outputnya belum juga sesuai dengan yang diharapkan. Malah ketika masyarakat mencoba untuk kritis, pemeritah seolah berusaha untuk membatasi ruang geraknya.

Nah sekarang, 42 tahun setelah tulisan Wildan dimuat oleh koran Kompas, sebagian usul tersebut menjadi kenyataan. Sayangnya, kondisi manusia Indonesia-nya masih gitu-gitu aja. Jadi di mana ya salahnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun