Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Persiapan Sosial, Persiapan Pernikahan yang Sering Diabaikan

22 Oktober 2019   17:27 Diperbarui: 22 Oktober 2019   17:50 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tetangga (sumber pxhere.com)

Ketika lulus kuliah, aku mengontrak 'kamar' di sebuah rusun di Kota Tangerang. Seperti tinggal sendirian di sana. Sama tetangga kanan kiri tidak kenal. Kalau ada apa-apa, urusannya ya sama pengelola rusun. Itupun cukup di SMS (tahun 2013 WA belum semerakyat hari ini, Bo). Walaupun memang sih, di kontrakan itu ibarat kata hanya kugunakan untuk numpang tidur. Waktuku lebih banyak aku habiskan di rumah sakit dan di sport club. Kalau akhir pekan, aku ke Bekasi, ke rumah budhe.

Kemudian aku pindah ke Padalarang. Di sana, aku mengontrak sebuah rumah kecil. Pemilik rumah itu tinggal persis di sebelah rumah yang aku tempati. Mereka menganggapku seperti bagian dari keluarga mereka. Mereka memperkenalkanku pada banyak orang yang tinggal di sana, mereka mendorongku untuk ikut solat tarawih di bulan Ramadan, dan mereka juga mengajakku dalam kegiatan sosial seperti melayat ke rumah tetangga.

Pengalamanku di Padalarang ini yang kemudian mempermudahku beradaptasi ketika aku mengontrak sebuah rumah di daerah Bekasi setelah menikah. Aku berkenalan orang-orang yang tinggal di lingkungan sekitarku, sesekali ikut berkumpul bersama ibu-ibu komplek, suamiku solat subuh di musala sebelah rumah, dan kalau ada yang meninggal dia akan ikut tahlil kalau tidak kelelahan sepulang kerja.

Overall, hidup kami baik-baik saja dirantau meskipun jauh dari orangtua. Orang-orang di sekeliling kami juga menganggap kami adalah 2 orang dewasa yang hidup bersama-sama dengan mereka.

Lah, bukannya kalau orang yang lulus SMA harusnya memang sudah dewasa? Meskipun mereka belum menikah, tapi mereka kan sudah bukan anak-anak lagi.

Betul. Mereka bukan anak-anak. Mereka juga secara usia sudah dewasa dan sebetulnya sudah pantas menikah. Namun, beberapa dari mereka kemampuan sosialnya kurang sekali. Bahkan ada beberapa orang yang aku kenal, mereka sudah menikah namun belum bisa mandiri di masyarakat.

Mau mengurus Kartu Keluarga, bapaknya yang jalan. Punya bayi, ketika bayinya menangis dia ganti berteriak pada ibunya. Berselisih paham dengan tetangga, ibunya lagi yang jadi bertengkar dengan orang lain.

Aku juga pernah melihat sebuah keluarga muda yang menjadi 'public enemy' di komplek karena mereka tidak bisa menempatkan diri. Tidak pernah terlihat dalam acara komplek, kalau ribut suaranya sampai mana-mana, tidak pernah menegur kiri dan kanan, dan tidak mau menyapa orang-orang tua saat berjalan melewati mereka.

Salim A Fillah, seorang (yang aku kenal sebagai) penulis, dalam tulisannya yang dimuat di islamedia.id, menjabarkan bahwa pernikahan kita harus hadir sebagai pengokoh kebajikan masyarakat, bukan beban maupun pelengkap penderita. Target besarnya adalah menjadikan pintu rumah kita sebagai yang paling pertama diketuk ketika orang-orang sekitar membutuhkan.

Sewaktu kuliah (artinya setelah lulus SMA), aku juga bukan orang yang bisa bersosialisasi dengan baik. Aku memang aktif di beberapa kegiatan sosial di kampus. Tapi di rumah, rasanya aku enggak pernah melakukan sesuatu yang berarti. Nggak pernah ikut karang taruna, nggak pernah ikut acara-acara kampung, nggak pernah ikut kerja bakti, pokoknya hidup cuma ada di dalam rumah. Urusan sama tetangga-tetangga, itu urusan kedua orangtuaku.

Ketika aku merantau ke Tangerang, aku baru mengerti bahwa dalam satu rumah, ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Karena aku tinggal di sebuah rusun, selain aku harus mengeluarkan uang untuk membayar sewa, aku harus mengeluarkan uang untuk kebersihan, keamanan, listrik, dan sampah. Aku anggap ini adalah kewajiban minimal seseorang di masyarakat. Sewaktu pindah ke Padalarang, aku belajar kewajiban kita sebagai anggota masyarakat selain masalah uang. Yaitu tentang kehadiran dan partisipasi sebagai warga dan tetangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun