Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Hidup dengan Buku "Leladi Bebrayan"

29 Agustus 2019   16:04 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:20 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

"Kebudayaan Bekasi, bukan melulu tentang tempat bersejarah atau hal-hal yang bisa terlihat. Nilai-nilai luhur juga merupakan nilai budaya yang harus diturunkan pada anak-anak muda," kata Muhsin Mabrur dari Komunitas Penter.

Saat itu, aku sedang mendengarkan diskusi publik yang digagas oleh Dakta FM bertajuk "Milenial Bicara: Bekasi Dulu, Kini, dan Nanti". Cerita dari diskusi ini akan aku kisahkan di lain tulisan. Yang sekarang ingin aku bahas adalah tentang menurunkan 'nilai-nilai luhur' seperti yang dikatakan oleh Bang Muhsin itu.

Aku bukan orang Bekasi atau Betawi. Ibuku adalah orang Jawa yang menghabiskan lebih dari 30 tahun hidupnya di tanah Sunda. Bapakku adalah orang Jawa tapi ya nggak njawani banget.

"Duh, apa ya Met?"

Kalimat itu yang sering dilontarkan kalau aku bertanya PR bahasa Jawa yang aku tidak mengerti. Namun di sini, aku ingin berbicara tentang nilai-nilai luhur budaya Jawa karena membaca buku terbaru dari Puthut EA berjudul "Leladi Bebrayan".

Mungkin (ini berdasarkan apa yang aku baca saja yah), leladi bebrayan itu bisa disimpulkan sebagai guideline bagaimana kita hidup bersama-sama. Namanya giudeline, sudah pasti nilainya baik, kan?

Bab 1 dalam buku ini membicarakan tentang hidup manusia yang mestinya punya arti. Tembang (lagu-lagu Jawa), cerita, tulisan sastra, tarian, dan hal-hal yang dilihat sebagai simbol kebudayaan Jawa lainnya membantu manusia untuk bisa menemukan arti dan memberi petunjuk apa-apa yang dinilai baik. 

Nah, petunjuk ini termasuk petunjuk untuk hidup bersama-sama orang lain. Untuk hidup bersama-sama, kita harus punya empati. Apa yang dirasa orang, bagaimana kalau terjadi pada diri kita? Jangan mencubit kalau tahu dicubit itu sakit.

Bab-bab selanjutnya berisi 'wejangan' tentang bagaimana kita bisa mengendalikan diri, tentang bagaimana kita peka untuk bisa mendengar rahasia alam, tentang bagaimana menjadi kesatria, dan bab terakhir bercerita tentang kebenaran.

Kebenaran itu bukan seperti tempat yang tampak jelas dengan bentuknya yang pasti. Jadi memang sulit untuk diraih. Namun kebenaran itu bisa didekati dan dijalani. Kebenaran itu abu-abu. Suatu hal, bila dilihat dari satu sisi bisa jadi benar tapi dari sisi lain bisa jadi salah. Karenanya, kebenaran itu kadang-kadang harus dilihat dengan saksama.

Hal tersebut bisa kita pelajari dari wayang. Puthut EA menuliskan contohnya dengan menceritakan tentang Kumbakarna dan Wibisana. Keduanya adalah adik dari Rahwana. Ketika Rama mengerahkan pasukannya untuk menyerang Alengka dan merebut Dewi Sinta, Kumbakarna siap berperang melawan pasukan Rama. Kumbakarna tidak bisa membiarkan orang lain mengobrak-abrik negara tempatnya tinggal.

Berbeda dengan Wibisana. Wibisana bersimpati dengan Rama karena merasa kelakuan Rahwana menculik Dewi Sinta itu salah. Dia tidak peduli dengan tanah kelahiran, yang dia tahu, salah ya salah.

Dalam cerita wayang, Kumbakarna dan Wibisana menjadi kesatria yang bisa dijadikan contoh. Bagaimana Kumbakarna berjuang membela tanah airnya dan bagaimana Wibisana membela kebenaran yang dia yakini meskipun harus menentang saudara-saudaranya.

Cerita yang paling berkesan dari buku ini adalah perumpamaan menjalani hidup seperti kalau kita mau minum air kelapa muda. Kita harus memanjat pohon kelapa, mengupas kulit kelapa, dan memecah tempurungnya. Setelah itu baru kita bisa mendapatkan air kelapa mudanya.

Cerita ini diceritakan 2 kali oleh Puthut EA. Yang pertama adalah ketika dia membicarakan tirakat dan gegayuhan (keinginan). Aku kurang mengerti tentang tirakat, tapi tentang keinginan, sedikit banyak aku mencoba untuk mengerti. Ketika kita memiliki sebuah keinginan, harus ada yang kita lakukan dan korbankan untuk mencapainya. Seperti kalau kita mau minum air kelapa muda tadi.

Buku ini menarik sekali untuk dibaca terutama orang-orang Jawa yang tinggal di perantauan seperti aku. Buku ini mengingatkanku pada nilai-nilai yang dimiliki oleh orang Jawa. Jangan sampai kita lupa kalau punya nilai-nilai luhur yang harus kita pertahankan walaupun jauh dari tempat tinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun